Suara hati sarah
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Para siswa Madrasah Aliyah segera berhamburan keluar kelas. Terlihat dua orang perempuan yang sedang sibuk mengeluarkan sepeda dari parkiran, sambil mengobrol.
“Sarah, ntar belajar bareng yuk, aku masih belum ngerti matematikanya nih.”
“Iya boleh.” Jawabnya singkat
“Okay, ajarin aku yah.”
“Iya, gampang… ya udah, ayo pulang.”
“Ayo”
Kedua orang sahabat itu pulang dengan ceria, tanpa mempedulikan teriknya matahari. Ya, Jakarta saat ini memang sedang berada di puncaknya panas. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan bila harus berjalan kaki dengan ditemani teriknya matahari. Tetapi kedua sahabat itu masih dibilang cukup beruntung, karena mereka pulang pergi sekolah dengan menggunakan sepeda. Rumah Sarah dan Rani bertetanggaan, hanya terhalang 3 rumah.
Setelah sampai, Sarah melihat Ibunya hendak keluar. “Ibu mau ke kondangan anaknya pak RT.” jawab Ibu ketika tau sarah heran melihatnya berpakaian rapi. Kemudian Sarah masuk rumah dan segera berganti pakaian, berwudhu dan shalat. Dalam do’anya, ia bersyukur karena telah diberi kenikmatan yang luar biasa, terutama masih mempunyai ibu yang sangat menyayanginya. Selain itu, sarah juga bersyukur masih mempunyai tempat tinggal meskipun sederhana, yang ditempati oleh 3 orang. Bu Fatimah, Ibunya sarah yang bekerja sebagai penjual gorengan keliling; Amar, kakaknya sarah, yang sekarang sedang duduk di bangku kuliah Universitas Pendidikan Indonesia, dengan disambi mengajar les private; dan si bungsu sarah, kelas 3 Aliyah. Sedangkan bapaknya, sudah meninggal 10 bulan yang lalu karena kecelakaan.
“Saraaahh.. assalamu’alaikum, Saraahh.”
“Iyaa, wa’alaikumsalam, masuk Raaan.”
Mendengar suara Sarah, Rani langsung masuk menemui Sarah. Sambil melihat sekeliling, Rani bertanya, “Pada kemana sar, kok tumben sepi?”
“Ah, emang tiap hari sepi kan Ran, kamu tau sendiri, kalau jam segini rumahku sepi.”
“Tapi kok aku gak liat ibu, kemana?”
“Tadi sih bilangnya mau ke kondangan anaknya Pak RT.”
“Ooohh.”
“Ran, makan yuk, ibu tadi masak tahu balado.”
“Wah enak tuh, tapi sayangnya aku udah makan. Kalau kamu mau makan, makan aja dulu sana.”
“Gak ah, gak enak masak makan sendiri, langsung belajar aja lah.”
“Tapi kalau sakit, aku gak ikut tanggung jawab loh ya.”
“Iye iye, takut banget sih.”
Sarah dan Rani mulai membahas soal-soal. Tapi tak lama kemudian, Rani mulai mengajak ngobrol Sarah,
“Eh, kamu inget gak sama…”
“Inget sama siapa?”
“Sama yayang kamu…”
“Yayang? maksudmu siapa Ran?”
“Alah, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, maksud aku itu Ardi.”
“Ya inget lah, masa sama temen sendiri lupa.”
“Temen apa temen, ngaku aja deh, kamu kangen kan sama Ardi.”
“Udah ah, kamu itu sukanya menggoda, lagian gak ada pentingnya bahas Ardi, mending bahas soal-soal latihan aja lah, ini baru penting.”
“Kata siapa gak penting, penting lah, buat masa depan.”
“Sok tau kamu, udah ah, kalau mau bahas Ardi, bahas aja sendiri, aku mau belajar.”
“Ah, kamu mah gak asik.”
“Terserah.” Jawab Sarah dengan singkat.
Rani melirik sahabatnya yang selalu tenang,
‘ah, sarah… sarah, kamu dari dulu kalau bahas ardi selalu menghindar.‘ batin Rani
Setelah selesai belajar bersama, Rani berpamitan pulang. Rani segera bersiap-siap mengajar TPA di masjid dekat rumahnya. Begitu juga dengan Sarah. Ketika Sarah hendak keluar, ibunya datang. Sekalian saja Sarah berpamitan kepada ibunya. Di jalan, Sarah bertemu dengan Rani. Mereka berdua pun jalan beriringan. Di teras Masjid, ada Ustad Heri yang sedang duduk, menunggu Sarah dan Rani datang karena sama-sama mengajar di TPA masjid. Ustad Heri terbilang cukup muda. Usianya baru 21 tahun, tetapi sudah sering berceramah di masjid-masjid, dan namanya juga sudah tersohor dimana-mana. Dikarenakan seringnya berdakwah inilah, ia disebut “Ustad” oleh masyarakat. Selain itu, Ustad Heri adalah temannya Amar, kakaknya Sarah, yang juga sama-sama kuliah di UPI.
“Ustad mudaa.” panggil Rani dengan senyuman anehnya.
“Hush, Rani, bukannya ngucapin salam, malah manggil ustad dengan panggilan anehmu itu.” kata Sarah sambil menyikut lengan Rani.
“Hehehe, assalamu’alaikum, ustad muda.”
“Wa’alaikum salam Rani.”
“Aduh maaf ya ustad, Rani emang suka gitu.” sambung Sarah
“Ah, gak apa-apa kok, sudah biasa.”
“Tuuhhh kan, ustad muda aja bilang gak apa-apa, ustad muda kan baik hati dan tidak sombong.”
Ustad Heri hanya tersenyum mendengar ocehan Rani. Sementara Sarah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sambil menatap aneh kelakuan rani.
“Ya udah, ayo kita masuk, kasihan anak-anak sudah menunggu.”
“Okay ustad mudaaa.” Sambil menyelonong masuk duluan.
Ustad Heri hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat kelakuan Rani. Sarah dan Ustad Heri menyusul dari belakang.
—
Bulan bersembunyi di balik awan mendung. Terdengar beberapa kali suara petir yang memecah sepi suasana malam itu. Angin pun tidak mau kalah, meniup-niup udara dengan kencang, membuat orang begidik kedinginan. Sepertinya cuaca sedang tidak ingin bersahabat saat ini. Suara jendela yang menutup dan membuka sendiri di salah satu rumah, dikarenakan ulah angin membuat penghuni rumah itu merasa terganggu.
“Saraaah… saraaahh” teriak ibunya.
Karena tidak ada jawaban dari sarah, ibunya beranjak menuju kamar sarah. Dari depan kamar, sudah kelihatan kalau Sarah sudah tidur. Ibu masuk ke kamar Sarah, hendak menyelimuti sarah. Tanpa sengaja, ia melihat Sarah memegang buku tipis dan sebuah foto bapak. Di ambilnya buku tipis situ, dan ia mulai membacanya.
Bapak, apa kabar disana, semoga bapak baik-baik saja. Disini sarah, ibu dan mas amar tidak pernah lupa mendoakan bapak. Pak, langsung aja ya, sebenarnya, sarah pengeeen banget bisa nerusin ke perkuliahan. Sarah pengen kaya mas amar, bisa menjadi seorang mahasiswa yang hebat, menjungjung cita-cita dan harapan yang selama ini sarah harapkan. Menjadi dokter. Iya pak, sarah pengen mengobati orang yang sakit, terutama yang sakit itu orang yang gak mampu kaya kita pak. Jadi nanti kalau sarah sudah mampu, sarah bisa membuka klinik atau tempat buat orang periksa kesehatan tanpa perlu membayar pak.
Bu Fatimah berhenti membaca tulisan Sarah. Ia tak mampu membendung air matanya. Tetapi Bu Fatimah penasaran dengan lanjutan dari isi tulisan Sarah.
Tapi sarah tahu diri kok pak, sarah tahu, kalau ibu tak akan mampu membiayai sarah. Bapak tahu kan, biaya kuliah itu gak murah. Apalagi kata orang, kedokteran itu paling mahal daripada yang lainnya. Kemaren, waktu ibu nanya sarah, sarah bilangnya pengen kerja aja, soalnya udah capek sekolah. Padahal sebenarnya gak pak. Sarah Cuma tidak mau membebani Ibu pak, karena saat ini tinggal Ibu lah yang Sarah punya selain mas Amar. Tapi biarlah pak, hanya waktu yang bisa menjawab semua ini. Kalaupun sarah gak jadi kuliah, gak apa-apa kok pak, yang penting salah satu dari keluarga kita ada yang sarjana. Iya kan pak, mas amar… iya, mas amar lah calon sarjana itu. Biarlah sarah hanya lulusan SMA biasa. Sarah hanya bisa berharap, semoga keinginan sarah untuk bisa kuliah, terwujud pak. Walaupun semua itu tidak mungkin, tapi bagi Allah semuanya menjadi mungkin…
Bu Fatimah segera menyelimuti Sarah dengan selimut yang tebal, sambil mengusap rambut Sarah. Setelah itu ia langsung keluar karena tidak kuasa menahan air mata, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginan mulia anaknya agar bisa menjadi dokter. Malam itu, ia sengaja tidak tidur karena ingin shalat, bermunajat kepada Allah agar dimudahkan segala urusannya, termasuk juga urusan Sarah. Setelah shalat dan berdo’a, ia membaca Al-Qur’an. Hingga tidak terasa, adzan subuh telah berkumandang.
Bu Fatimah segera melanjutkan shalat subuh berjamaah dengan anak-anaknya. Karena sudah menjadi kebiasaan Sarah dan keluarganya, shalat subuh dengan berjamaah. Dilanjutkan dengan memasak dan membersihkan rumah bersama-sama. Ketika sarapan pagi sedang berlangsung, Amar membuka pembicaraan.
“Bu, ibu gak apa-apa kan, kok dari tadi diem terus?”
“Amar, kalau lagi makan jangan bicara!” jawab Bu Fatimah dengan nada agak membentak
Amar langsung diam dan melanjutkan makan. Sementara Sarah hanya melirik ibunya dan Amar secara bergantian.
“Bu, sarah pamit dulu ya. Soalnya janji sama temen mau datang agak pagi.”
“Amar juga bu, hari ini dosennya ngajar pagi, soalnya nanti siang ada acara.”
“Ya sudah, sana!” masih dengan nada membentak.
Amar dan Sarah mencium tangan ibunya, dan bergegas pergi meninggalkan ibunya yang masih makan.
“Mas, ibu kenapa ya, kok gak kaya biasanya.”
“Mas juga bingung. Sebenernya sih, Mas gak ada jadwal pagi, tapi karena takut ibu makin marah, ya bilang aja ada kuliah pagi.”
“Iya mas, Sarah juga. Sebenernya pengumuman kelulusannya ntar jam 8, ini masih setengah tujuh.”
“Ya udah lah, ayo berangkat aja.”
“Iya mas.”
Kakak beradik itu segera berangkat. Tetapi tidak langsung ke tempat tujuan, melainkan mampir ke rumah temannya. Amar menjalankan motor warisan bapaknya dan langsung meluncur. Sedangkan Sarah berjalan ke rumah Rani. Rani yang sedang duduk nyantai di ruang tamu melihat sarah menuju ke arahnya, mengernyitkan kening. Setelah Sarah masuk, Sarah menceritakan apa yang barusan terjadi dirumahnya. Rani yang mendengarnya hanya manggut-manggut. Tak terasa waktu menunjukan pukul 8. Sarah dan Rani segera berangkat ke sekolah, karena hari ini ada pengumuman kelulusan.
Memang, pengumuman kelulusan bisa dilihat di website sekolah mereka. Tetapi pihak sekolah menyuruh para siswa agar datang ke sekolah dahulu. Bahkan sebagian besar ada yang membawa laptop ke sekolah, sekalian membuka website. Sarah dan Rani pun ikut nimbrung ke temannya yang membawa laptop, karena ingin tahu secepatnya. Tak lama kemudian, suara jeritan dan tangis menyelimuti mereka, para siswa yang lulus. Ada yang melonjak-lonjak kegirangan, ada yang saling berpelukan sambil menitikkan air mata bahagia, dan ada juga yang berpegangan tangan sambil berputar-putar. Suasana yang penuh dengan kebahagiaan itu terus berlanjut. Tak ketinggalan juga, guru-guru mereka yang telah mendidik dengan penuh kesabaran, tersenyum bahagia yang tak terkira, melihat anak-anak didiknya lulus semua. Ya, baru kali ini Madrasah Aliyah Negeri 1 bisa meluluskan siswa seluruhnya, tanpa terlewatkan 1 siswa pun. Para siswa berbondong-bondong lari menghampiri guru-guru dan langsung memeluk para guru. Mereka semua terisak. Terisak bahagia karena lulus, dan terisak bersedih karena sudah tidak bisa bersama-sama lagi seperti kemarin. kalaupun bisa, itu tidak akan sering, karena mereka semua akan menghadapi hari-hari selanjutnya masing-masing.
Setelah semua merasa sudah cukup, mereka bergegas pulang, tak sabar ingin memberi kabar bahagia ini kepada keluarga masing-masing. Ketika Sarah dan Rani hendak pulang, Bu Ratna, Guru BK memanggil Sarah.
”Mau pulang ya?” Tanya Bu Ratna.
“Iya bu.” jawab Sarah dan Rani dengan bersamaan.
“Bentar ya, Sarah kamu bisa gak bicara sebentar sama ibu.”
“Memangnya ada apa ya bu.”
“Ya ada yang mau ibu bicarakan. Bentar kok. Bisa kan?”
Sarah menatap Rani, seolah-olah meminta persetujuan. Rani pun menjawabnya dengan anggukan.
“Ya udah bu, bisa.”
Bu Ratna segera mengajak Rani dan Sarah masuk ke ruang guru, dan menyuruh mereka duduk.
“Mmm, Sarah, ibu mau tanya, setelah ini kamu mau melanjutkan kemana”
“Ehhem, Sarah masih kurang tau bu, soalnyaa…”
“Masalah ekonomi?”
“Iya bu.” jawab sarah dengan menunduk.
“Begini Sarah, selama ini ibu melihat potensi kamu itu luar biasa. Nilai ujian kamu ini hampir mendekati sempurna. Apalagi nilai-nilai IPAnya. Seandainya kamu bisa kuliah, kamu mau ambil jurusan apa?”
“Sebenarnya, saya dari dulu pingin jadi dokter bu.” masih menunduk
“Wah, bagus itu. Itu pekerjaan yang bagus, bisa mengobati orang sakit..”
“Iya bu, tapi saya merasa, saya gak pantes buat kuliah. Saya bingung bu, dapat biaya dari mana. Bapak sudah gak ada, sedangkan ibu…”
“Sudahlah sarah, kamu jangan pesimis begitu. Orang berbakat kayak kamu, sayang kalau tidak melanjutkan. Begini saja, ibu bakal cari info tentang beasiswa. Kalau ada, kamu mau kan?”
“Mau bu, mau.. Tapi apa tidak merepotkan ibu?”
“Ya tidak Sarah, itu sudah menjadi kewajiban seorang guru. Menjadikan anak didiknya menjadi lebih baik. Kamu tidak usah khawatir ya, pasti ada kok.”
“Sebelumnya saya mau bilang terimakasih yang banyak bu. Ibu sudah mau repot-repot membantu.”
“Sudah, gak apa-apa. Ya sudah, kamu pulang dulu, nanti ibu kamu mencari.”
“Sekali lagi makasih ya bu.”
“Iya sarah. Hati-hati ya.”
“Kami pamit bu.”
Setelah bersalaman dan mengucapkan salam, Rani dan Sarah segera pulang. Di perjalanan, Sarah memikirkan perkataan gurunya itu. Sebenarnya pengen sekali ia bisa melanjutkan. ‘ah, semoga aja dapat.’ Batinnya. Rani mengerti apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu. Rani juga meyakinkan kalau sarah memang harus melanjutkan ke perguruan tinggi karena potensi yang dimiliki sarah sangat besar. Sarah hanya tersenyum mengiyakan.
Di rumah, Sarah menceritakan pembicaraan ia dan Bu Ratna tadi kepada ibunya. Ibunya hanya diam dan tidak merespon omongan Sarah. Sarah tidak putus asa. Ia terus meyakinkan ibunya, kalau Sarah mampu kuliah. Bahkan Sarah siap kalau bisa, kuliah sambil bekerja seperti kakaknya, Amar. Tiba-tiba Bu Fatimah menatap anaknya dengan tajam. Sarah siap dengan resikonya, ia mengira kalau ibunya akan memarahinya, dan tetap keras dengan pendiriannya, tidak mengizinkan Sarah kuliah. Tanpa disangka-sangka, ibunya memeluk Sarah dan menangis. Ibunya meminta maaf dan mengizinkan Sarah untuk kuliah. Sarah merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan tak lupa ia mengucap syukur. Kini tinggal kepastian dari gurunya, ada atau tidaknya beasiswa untuk dirinya.
Beberapa hari kemudian, Bu Ratna datang ke rumah Sarah, untuk mengabarkan bahwa di UI (Universitas Indonesia) ada beasiswa untuk jurusan yang di inginkan oleh Sarah. Dengan wajah yang berbinar, Sarah mengucap syukur dan berterimakasih kepada Bu Ratna atas info yang diberikan. Ia berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa masuk ke UI. Karena salah salah satu persyaratan beasiswanya itu adalah harus sudah diterima menjadi mahasiswa UI, tentunya Sarah harus melewati tes terlebih dahulu.
—
Hari itu Sarah sengaja membeli koran untuk melihat pengumuman diterima atau tidaknya menjadi mahasiswa. Dengan mengernyitkan kening, dan hati yang tidak berhenti berdo’a, matanya melihat teliti baris demi baris untuk melihat namanya. Setelah beberapa menit mencari, tiba-tiba Sarah membelakkan matanya, sambil mengucap syukur berulang kali.
“Ibuuu… Buuuu…” teriak Sarah.
“Ada apa Sarah, kenapa kamu teriak-teriak seperti itu.”
“Bu, Sarah diterima Bu..”
“Diterima apanya Sarah?”
“aduh Bu, coba ibu liat ini.”
Sarah menunjukkan namanya yang tertulis di koran. Amar datang menghampiri.
“Ooh, ya Allah, kamu diterima di UI itu Sarah?”
“iya Bu, Sarah seneng banget.”
“wah, selamat ya adekku.. adekku ini memang hebat.” Sambung Amar
“Iya kak, Alhamdulillah, berkat doa Ibu dan Mas Amar.”
“Dan juga berkat usaha kamu nak”
“Iya bu.” sambil tersenyum
“Eh Sarah, nanti, kalau kamu ospek, hati-hati loh.” Kata Amar
“Loh, kenapa memangnya.”
“Kamu, bakal disamain kaya…”
“Disamain kaya apa mas?”
“Kaya orang gini…” Sambil menempelkan telunjuk di keningnya dengan posisi miring
“aaahhh, mas Amar nih, sukanya gitu.”
Kakak beradik itu saling berkejaran. Bu Fatimah hanya tersenyum melihat kelakuan anaknya. ‘ah, aku bangga sekali melihat anak-anakku akan menjadi seorang yang sukses. Pak, kalau aja bapak ada disini, pasti bapak juga akan senang dan bangga melihat anak-anak kita pak. Ibu kangen sekali sama bapak’ batin Bu Fatimah. Tiba-tiba ia merasakan pusing yang sangat, dan pandangan matanya terasa gelap. Tak lama kemudian, ia tak sadarkan diri. Sarah dan Amar berlari menghampiri ibunya ketika ibunya jatuh tersungkur.
Mereka berdua sangat panik, dan langsung membawa ibunya ke Rumah Sakit terdekat. Setelah diperiksa, dokter mengatakan kepada Sarah dan Amar, kalau ibunya terkena penyakit kanker otak stadium rendah. Sarah menitikkan air mata, seolah-olah tak percaya perkataan dokter. Amar hanya menunduk sedih. Dokternya menyarankan agar Bu Fatimah melakukan local kemoterapi dan radioterapi selagi penyakitnya itu masih tidak terlalu parah. Tetapi kakak beradik itu bingung karena tidak ada biaya untuk membayar terapi ibunya. Disisi lain, mereka ingin menyelamatkan ibunya. Mereka pun pulang disertai ibunya, karena ibunya meminta pulang semenjak sadar dari pingsannya.
Sarah menghampiri kakaknya yang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya.
“Mas..”
“hmm?” tanpa melihat ke arah Sarah
“Sarah bingung mas, apa sebaiknya Sarah kerja saja, cari biaya buat pengobatan ibu ya. Sarah gak tega mas liat ibu sakit. Sarah gak mau kehilangan orang tua kita yang tinggal satu. Apa Sarah gak usah kuliah saja ya mas.” Kata Sarah sambil menunduk dan memainkan ujung bajunya dengan tangannya.
“Sarah, kamu ini ngomong apa, kamu gak usah bingung cari biaya, biar mas saja yang cari. Kamu itu perempuan, dan di rumah ini masih ada anak laki-laki yang harus menggantikan bapak mencari uang, lagian kamu tau kan, biaya kemoterapi itu sekali jalan, biayanya satu juta. Tadi dokternya malah bilang jalanin kemoterapinya harus enam kali biar bisa sembuh total.”
“tapi mas..”
Amar membalikkan tubuhnya ke arah Sarah.
“Sudahlah Sarah, percaya sama mas. Kamu berdoa saja. Biar mas yang usaha. Dan jangan lupa, kamu tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, ingatlah selalu padaNya. Kamu tau kan salah satu ayat Al Qur’an, “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya?, tau kan ayat itu?”
“Iya mas.” jawabnya singkat
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Serahkan semuanya pada Allah.”
“Makasih ya mas. Sarah beruntung benget punya kakak sebaik dan sesholeh mas Amar.”
“Iya insyaallah. Ya sudah, mas mau ngerjain tugas dulu.”
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sarah dan Amar saling berpandangan. “Siapa sar, coba kamu buka pintunya.” Sarah menuruti perintah kakaknya. Tamu itu ingin menemui dan berbicara dengan ibunya Sarah. Sarah pun terpaksa membangunkan ibunya yang sedang tidur. Sementara ibunya menemui tamu, Sarah membuatkan teh hangat. Setelah Sarah mengantarkan minumannya ke depan, secara tidak sengaja Sarah mendengar Tamu itu berbicara, “Bu, ini hutang saya yang dulu pernah saya pinjam ke almarhum pak Idris. Saya minta maaf bu, atas keterlambatan membayar hutang beliau.” Sambil menyerahkan amplop cokelat yang tebal. Karena Sarah penasaran, ia pun duduk di sebelah ibunya. Bu Fatimah heran ketika menerima amplop itu, karena seingatnya, tamu ini hanya meminjam sedikit. Tamu itu mengerti keheranan Bu Fatimah. “Begini bu, saya sudah bernadzar kalau misalnya saya terlambat membayar, maka satu hari uang itu akan saya tambah sebanyak dua puluh ribu. Ini kan sudah lama, maka saya juga harus menambahkan banyak.” Ketika bu Fatimah menolak, tamu itu menjelaskan kalau ia sudah bernazar, dan hukumnya nazar itu adalah wajib, Bu Fatimah akhirnya menerima dengan ucapan syukur dan berterima kasih kepada tamu. Setelah minum teh, tamu itu pun segera pamit. Sarah dan Bu Fatimah saling berpelukan dan menangis bahagia. Benarlah kata kakaknya tadi, Allah akan memberikan jalan keluar dan rizki yang tidak disangka kepada hambanya yang bertaqwa dan mau meminta kepadaNya.
Uang dari piutang itu digunakan untuk pengobatan Bu Fatimah. Sarah mengucap syukur berulang-ulang, ibunya kini telah sembuh dari penyakit yang membahayakan. Dengan ini Sarah bisa tenang untuk melanjutkan kuliah, yang sebelumnya ingin diputuskan saja. Hingga tibalah hari dimana ia pertama kali masuk ke kampus, yang selama ini ia impikan. Selama tiga hari Sarah dan mahasiswa baru lainnya melakukan kegiatan ospek. Hari berikutnya, hanya masa perkenalan antar mahasiswa baru, dengan dosen, dan dengan lingkungan UI. Ketika salah satu mahasiswa berbicara untuk memperkenalkan diri, Sarah mengernyitkan keningnya, dan dadanya berdebar. ‘itu kaaan, ar… di… ia, itu ardi. Ya Allah, ternyata dia juga kuliah disini.’ “Sarah, kamu kenapa?” mendengar pertanyaan dari teman barunya, Sarah tersadar dari lamunannya. “Hah, eh, gak apa-apa kok nayla.”
Dosen yang saat itu ada di kelas Sarah, mulai berbicara, “Nah, sedikit pengetahuan buat kalian semua, Bapak akan menceritakan sejarah singkat dari fakultas yang saat ini kalian ambil, dan tempat yang kalian tempati saat ini. Sejarah FKUI ini tidak terlepas dari sejarah pendidikan dokter di Indonesia yang dimulai sejak zaman penjajahan belanda.Tahu kan FKUI itu apa, masak ambil jurusan ini tidak tahu apa itu FKUI.”
“Iya tau paaak.” Jawab para mahasiswa dengan serempak. Dosen pun melanjutkan, “baik, nah, adapun momentum pendidikan kedokteran di Indonesia lahir pada tanggal 2 januari 1849. Dua tahun kemudian, tepatnya pada bulan Januari 1851, dibukalah sekolah pendidikan kedokteran di Weltevreden dengan jumlah siswa sebanyak 12 orang. Titik terang semakin terlihat ketika lulusan sekolah tersebut digelari dokter Djawa. Lebih dari 20 tahun, tepatnya tahun 1898, barulah berdiri sekolah pendidikan kedokteran yang disebut STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen). Kemudian pada masa jepang, stovia kembali berganti nama menjadi Ika Daigaku. Setelah berulang kali berganti nama, sebuah titik terang pun muncul di awal tahun 1950. Pemerintah meresmikan sekolah kedokteran pertama di Indonesia dengan nama Fakultas Kedokteran Indonesia…” Sarah tidak memperhatikan dosennya, dari tadi matanya hanya memandang Ardi.
Hingga waktu menunjukkan pukul 12.00. Mahasiswa baru diperbolehkan pulang lebih awal.
“Assalamu’alaikum.” Sapa Ardi.
“Wa’alaikum salam. Eh, Ardi.”
“Iya Sarah, aku gak nyangka bisa bertemu kamu lagi disini.”
“Weey, punya temen cewek cantik kok gak dikenalin sih brow…” Sahut Fadil, teman Ardi.
“Iya Fadil, kenalin, ini Sarah.. Sarah, kenalin, ini Fadil.”
Ketika Fadil mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Sarah hanya menelungkupkan kedua tangannya. Seketika, Fadil melakukan hal yang sama. Ardi hanya terkekeh-kekeh. Sedangkan Sarah menatap Ardi sambil tersenyum. Sarah jadi teringat masa kecilnya bersama Ardi. Dulu teman-temannya sering menjodoh-jodohkannya dengan Ardi. Ia dan Ardi sangat malu, tetapi lama-lama hal itu sudah bagaikan santapan sehari-hari bagi mereka berdua. Teman-temannya memanggil Ardi dan Sarah dengan panggilan Arsa (singkatan Ardi dan Sarah). Pernah saat itu Sarah sedang berjalan, tiba-tiba terpeleset, dan tepat di belakangnya ada Ardi. Dengan spontan Ardi menahan Sarah agar tidak jatuh. Untunglah saat itu tidak ada temannya yang melihat.
“Sarah,.. Hey”
“Iya Arsa,. Eh. Emm ma… maaf, maksudku, Ardi.” Sarah kikuk dan secara tidak sadar ia telah memanggil sebutan Arsa pada Ardi. Ardi yang mendengar Sarah memanggil Arsa tersenyum. ’ternyata Sarah masih ingat dengan nama itu’.
“kamu mikirin apa?”
“ehm, gak mikirin apa-apa kok.”
“ya udah, aku pulang duluan ya. Ada urusan di rumah.”
“Emm, iya, Ardi.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Sarah merasa malu, karena tanpa sadar ia memanggil Ardi dengan panggilan itu. Gara-garanya tadi ia melamunkan masa kecilnya bersama Ardi.
Hari kedua kuliah, baru di mulai mata kuliah sesuai jadwal. Sarah mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Ia sudah memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan yang lainnya selain belajar dan belajar, termasuk dengan Ardi. Sarah ingin menahan diri dari gejolak-gejolak “cinta” yang selama ini ia rasakan pada Ardi.
Dan tak terasa waktu cepat berlalu, kini tibalah saatnya mahasiswa angkatan Sarah wisuda. Sarah sangat bersyukur karena ia akhirnya bisa lulus dari apa yang selama ini ia impikan, lulus dengan hasil yang sangat memuaskan, mendapat nilai caumlade. Hari itu suasana penuh dengan kebahagiaan dan keramaian oleh sanak keluarga dari masing-masing wisudawan. Bu Fatimah yang saat itu hadir, meneteskan air mata bahagia. Setelah acara selesai, para wisudawan beserta keluarganya saling berfoto untuk kenang-kenangan. Sarah menghampiri Bu Fatimah, dan memeluknya. Tiba-tiba ada yang memanggil, “Bu Fatimah?” Bu Fatimah dan Sarah menoleh. Bu Fatimah terkejut seraya mengatakan,
“Loh, Bu Siska? Kapan datang ke Jakarta?”
“Loh, kan sudah lama bu, semenjak si Ardi lulus SMAnya, terus melanjutkan kesini.”
“Oooh, nak Ardi kuliah disini juga?”
“Iya Bu, satu jurusan sama Sarah.” Jawab Ardi.
“loh loh loh… Sarah ini gimana, kok gak bilang ibu kalau kamu satu jurusan sama Ardi.” Sambil menatap Sarah. Sarah hanya tersenyum malu dan menunduk.
“Ya mungkin malu bu, cerita ke ibu. Oh iya, Sarah, selama ini Ardi sering cerita tentang kamu loh, katanya kamu sekarang tambah cantik dan sholehah, cerdas lagi. Ternyata emang bener ya, apa yang Ardi bilang.” Sambung Bu Siska.
“Ah, Ibu, jangan ceritain gitu napa, kan malu bu” kata Ardi. Sarah yang mendengarkan tersipu malu. Bu Siska menambahkan, “kenapa malu Ardi, ibu tau kok, kamu itu suka sama Sarah kan dari dulu.” “Ibuuu.” “hahaha, kalau gitu, ditunggu lamarannya ya nak Ardi” kata Bu Fatimah. “Ih, si ibu malah ikutan, Sarah kan belum bilang iya.” “iya nak Sarah, tenang saja, secepatnya kami sekeluarga akan cepat-cepat melamar nak Sarah, eh maksudnya itu, Ardi yang melamar.” Jawab Bu siska, seolah-olah itu adalah jawaban dari pertanyaan Sarah sendiri. Sarah dan Ardi hanya tertunduk malu.
“Baiklah kalau begitu, Bu Siska, nak Ardi, kami pamit dulu.”
“Mau pulang? Bareng saja Bu, naik mobil kami, kan rumahnya searah.”
“Ah, tidak usah Bu, merepotkan saja.”
“Tidak merepotkan Bu, kan sebentar lagi kita akan jadi misanan.”
“Ih, ibu, kok mulai lagi.” Kata Ardi
“Ayo, ayo Bu, Sarah, mari..”
Mereka pun segera meluncur. Dijalan, orang tua Ardi menanyakan tentang lamarannya pada Ardi. Pertama kali, Ardi menolak karena malu. Tapi setelah didesak, akhirnya ia mau juga. Terjadilah kesepakatan, minggu depan, Ardi akan melamar Sarah. Sarah segera menyampaikan kabar gembira ini kepada Rani. Sambil membelakkan matanya, Rani berkata, “hah, sumpeh loe!!” “Ya Allah Ran, kamu kok malah ngerespon kaya gitu. Aku ini beneraaan..”
“Ya Allah Sarah, selamat ya, aku cuma bisa mendoakan, semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warohmah.” “amiin.. amin. Kamu kapan dilamar sama Ustad muda mu itu?”
“Ah, kamu itu tauuu aja kalau aku suka sama Ustad muda. Ehem, aku kasih tau ya, kemarin, Ustad muda udah ngelamar akuu. hehehe.”
“Oh ya? Ya Allah raniii.. kedua sahabat itu saling berpelukan bahagia.
—
Malam ini Ardi dan kedua orang tuanya akan datang ke rumah sarah untuk melamarnya. Sarah merasa beruntung akan memiliki seorang laki-laki, yang selama ini sarah mengenalnya sebagai sosok yang sholeh, dan menjadi idaman bagi setiap wanita. Sarah yakin pilihannya tidak salah, dan ia yakin Ardi mampu menjadi pemimpin rumah tangga yang baik, yang sesuai dengan syari’at islam. Apalagi Sarah sudah memiliki kemantapan hati sepenuhnya untuk menerima lamaran dari Ardi, karena malam-malam sebelumnya ia juga melakukan shalat istikharoh.
Acara lamaran malam itu berlangsung dengan lancar. Semua yang hadir mengucap hamdalah bersamaan, setelah pihak wanita menerima lamaran dari pihak laki-laki.
Beberapa bulan kemudian, tibalah hari yang sangat bersejarah bagi Sarah. Ya, Sarah melangsungkan pernikahan dengan Ardi. Mereka berdua merasakan bahagia. Bagaimana tidak, selama ini mereka sudah saling menyukai satu sama lain, meskipun perasaan itu hanya terpendam di hati. Dan sekarang perasaan itu telah menyatu di dalam ikatan yang sah, sajadah pernikahan. Rani sudah mendahului Sarah seminggu yang lalu. Amar juga sudah mempunyai calon, dan akan merencanakan menikah setelah hari raya idul fitri.
Setelah menjalani hari demi hari, dan bulan demi bulan, keinginan Sarah untuk membuka praktek kesehatan secara gratis telah terwujud. Kini mayarakat sekitar tidak perlu lagi ambil pusing mencari dana untuk berobat. Sarah merasakan kebahagiaan yang luar biasa atas pemberian karunia dan kenikmatan yang tak terhingga dari Allah, keinginan terpendamnya selama ini sudah mampu dijalaninya. Kenikmatan lainnya, ia mendapatkan seorang suami yang ta’at pada agama, dan selalu menghargai keinginan sang istri.
Cerpen Karangan: Rosa Lina
Facebook: di_cha3[-at-]hotmail.com
0 komentar:
Posting Komentar