This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Senin, 19 Agustus 2013
05.55
Unknown
Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....
Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.
***
05.52
Unknown
Aisyah, anakku yang berusia 7 tahun mengalihkan pandangannya
pada jadwal pertandingan sepakbola di sebuah Koran. Tapi
tiba-tiba saja ia bertanya,
"Bu, siapa sih Marilyn Monroe itu?"
"Oooh... itu bintang film Amerika yang terkenal," jawabku
sekenanya.
Aku mengira jawaban itu sudah cukup untuk pertanyaan Aisyah.
Tapi ternyata tidak. Ia melanjutkan jawabanku itu dengan
pertanyaan lain yang membuatku cukup repot menjawabnya.
"Kalau bom seks itu maksudnya apa?" begitu tanya Aisyah.
Terus terang aku terkejut dengan pertanyaan itu. Aku diam
sejenak, lalu mengatakan,
"Itu wanita yang memamerkan kecantikannya. Mereka mengira
dengan begitu akan bisa terkenal, disanjung, dan mendapatkan
uang dengan cepat," kataku hati-hati.
"Wahh... pasti para ratu kecantikan itu cantik sekali
wajahnya ya Bu" katanya polos.
"Ya... katanya sih memang begitu," kataku apa
adanya.Lagi-lagi kukira dialog kami akan selesai di sini,
tapi ternyata tidak. Aisyah, putriku yang baru duduk di kelas
2 SD itu memang kritis. Ia pun melontarkan pertanyaan lagi
yang menjadikanku lebih serius menanggapi pertanyaannya.
"Kok ibu bilangnya pakai "katanya', memangnya Marilyn Monroe
sekarang sudah tua atau sudah tidak cantik lagi?"
"Bukan begitu, dia sekarang sudah meninggal... bunuh diri..."
begitu jawabku. Kupikir aku memang harus bisa menjelaskan
masalah ini dengan baik kepada putriku.
Setelah perkataanku itu, Aisyah meletakkan koran yang ada di
tangannya dan mendekatiku sambil mengatakan, "Kenapa bu? Kan
tadi ibu bilang ia orangnya cantik, kaya, terkenal. Kenapa
dia bunuh diri?"
Aku mencoba menenangkan diri dan menjawab pertanyaannya
perlahan. "Yah, ia memang cantik, terkenal dan kaya. Tapi itu
semua sama sekali tidak membuatnya bahagia," kataku sambil
menarik nafas. Kali ini aku sudah menduga kalau jawabanku itu
akan memancing pertanyaannya lagi. Justru sekarang aku yang
ingin agar dia kritis terhadap jawabanku tadi. Aku pun
bersiap mendengarkan pertanyaan berikutnya.
"Bagaimana mungkin bu, orang cantik, terkenal, kaya, tapi
tidak bahagia?" katanya. Pertanyaan itu yang memang kutunggu.
Aku menjawab, "Ya, karena hatinya kelaparan dan mentalnya
kering."
"Apa bu, hatinya kelaparan? Maksudnya bagaimana sih?"
tanyanya makin penasaran.
Aku terdiam sejenak, berfikir untuk bisa menjelaskan masalah
ini dengan tepat.
"Puteriku, manusia itu seperti yang diajarkan oleh agama kita
terdiri dari tubuh, pikiran dan hati. Agar seseorang bisa
hidup seimbang, bahagia, dan sehat, maka semuanya itu harus
diberi makanan. Makanan tubuh kita itu adalah nasi, buah atau
minuman. Pikiran kita makanannya adalah ilmu pengetahuan
seperti yang engkau pelajari di sekolah. Sedangkan
hati,makanannya adalah iman kepada Allah. Iman kepada adanya
Allah, iman dengan takdir-Nya, kasih sayang-Nya,
kekuasaan-Nya dan iman kepada hari akhirat. Sepanjang apapun
seseorang hidup, pasti akhirnya akan kembali kepada Allah
swt. Kita akan berhadapan dengan Allah dan mempertanggung
jawabkan segala perbuatan kita di hadapan Allah... Saat itu,
balasan yang kita terima hanya satu dari dua, surga atau
neraka. Dan Allah tak mungkin tidak adil terhadap hamba-Nya
..."
Anakku tampak serius sekali memperhatikan uraian tadi. Ia pun
terdiam, sepertinya berpikir. "Apakah Marilyn Monroe tidak
mengetahui hal itu sehingga ia bunuh diri?" katanya.
"Tidak tahu juga ya. Tapi umumnya orang yang bunuh diri itu
adalah karena putus asa dan kekecewaan yang sangat berat.
Putus asa seperti itu tidak dialami oleh seorang yang
beriman. Dalam surat Yusuf Allah swt berfirman, "Tidaklah
orang yang putus asa kepada rahmat Allah itu kecuali
orang-orang yang kafir..." Meskipun ia mengalami kesulitan,
penderitaan dan berbagai kesusahan, tapi orang beriman tetap
percaya pada kasih sayang Allah swt. Ia bisa melakukan
sholat, berdo'a, berdzikir, membaca al-Qur`an yang menjadikan
hatinya terang dan jiwanya segar kembali. Karena itulah
orang-orang beriman saja yang bisa hidup bahagia ...." (na)
05.46
Unknown
Hari pernikahanku.
Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya
saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan
justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada
satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu.
Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.
Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama
'buntelan karung hitam' itu ....?!?"
Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon
istriku disebut 'buntelan karung hitam'.
"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam,
gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih
tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.
"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan
Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa
menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung
mendengar ucapanku.
"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu.
baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan
seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan
itu ke rumah ini !!"
DEGG !!!!
"Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran
Ismail membuyarkan lamunanku.
Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
"Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi," sekali lagi
Ismail memberi semangat padaku.
"Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas
kawin seperangkat alat sholat tunai !" Alhamdulillah lancar juga aku
mengucapkan aqad nikah.
"Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien.
Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."
Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama.
Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah
sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati
kuberanikan diri untuk menyapanya.
"Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan
De'...?" tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan
dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam
pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an
tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui. "Nanti saja
dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang
berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat
dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku
suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.
Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku 'tidak
menarik'. Sekelebat pikiran itu muncul ....dan segera aku mengusirnya.
Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.
"Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti
ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal
beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak
untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam
malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya.
Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam
Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka," ...
Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang
banyak."
(QS An-Nisa:19)
Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata
itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita
yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama
besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.
"Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan
kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan
menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."
Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam
dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih
menyisakan segumpal ragu.
"Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya
siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi.
"Tidak...De'.
Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah.
Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika
seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil
menggenggam erat tangannya.
Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait
do'a kubentangkan pada Nya.
"Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan
cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang
cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini
akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu.
Karera itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"
Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap
raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku
benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah
sejati.Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya.
Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum
sunnah Rasul Nya. "...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
pada Allah ..." (QS. al-Baqarah:165)
Ya Allah sesungguhnya aku ini lemah , maka kuatkanlah aku dan aku ini
hina maka muliakanlah aku
dan aku fakir maka kayakanlah aku wahai Dzat yang maha Pengasih
00.30
Unknown
Cara Mencegah dan Mengatasi Penyakit Ginjal
- Sehat itu memang sangat-sangatlah mahal atau mungkin tidak bisa
dibayar dengan materi, kita bisa berobat tapi tidak bisa membeli
kesehatan langsung. Salah satu penyakit serius yang harus kita hindari
yaitu penyakit ginjal, sekarang saya akan membahas mengenai bagaimana
cara mencegah penyakit mematikan tersebut. Sebelumnya silakan baca dulu
ciri-ciri dan gejala penyakit ginjal di artikel ini.
Bagi kalian yang
merasakan gejala-gejala pada artikel tersebut, jangan terlalu merasa
takut karena niat saya disini bukan untuk menakut-nakuti, namun tidak
ada salahnya untuk melakukan tindak pencegahan dengan cara:
- Mengonsumsi air putih. Jangan sering-sering meminum beberapa jamu herbal yang tidak jelas asal-usulnya.
- Mengurangi makanan yang mengandung lemak. Lemak sendiri dianggap sebagai menyuplai penyakit kolesterol dalam tubuh.
- Tinjau berapa berat badannya sesering mungkin. Tujuannya tidak lain ingin menghindari obesitas.
- Aktif memeriksa kesehatan.
- Stop merokok
- Berolahraga secara teratur.
Diatas merupakan beberapa tips untuk mencegah penyakit ginjal, lebih baik mencegah daripada mengobati, semoga bermanfaat.
Selasa, 13 Agustus 2013
21.28
Unknown
Suara hati sarah
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Para siswa Madrasah Aliyah segera berhamburan keluar kelas. Terlihat dua orang perempuan yang sedang sibuk mengeluarkan sepeda dari parkiran, sambil mengobrol.
“Sarah, ntar belajar bareng yuk, aku masih belum ngerti matematikanya nih.”
“Iya boleh.” Jawabnya singkat
“Okay, ajarin aku yah.”
“Iya, gampang… ya udah, ayo pulang.”
“Ayo”
Kedua orang sahabat itu pulang dengan ceria, tanpa mempedulikan teriknya matahari. Ya, Jakarta saat ini memang sedang berada di puncaknya panas. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan bila harus berjalan kaki dengan ditemani teriknya matahari. Tetapi kedua sahabat itu masih dibilang cukup beruntung, karena mereka pulang pergi sekolah dengan menggunakan sepeda. Rumah Sarah dan Rani bertetanggaan, hanya terhalang 3 rumah.
Setelah sampai, Sarah melihat Ibunya hendak keluar. “Ibu mau ke kondangan anaknya pak RT.” jawab Ibu ketika tau sarah heran melihatnya berpakaian rapi. Kemudian Sarah masuk rumah dan segera berganti pakaian, berwudhu dan shalat. Dalam do’anya, ia bersyukur karena telah diberi kenikmatan yang luar biasa, terutama masih mempunyai ibu yang sangat menyayanginya. Selain itu, sarah juga bersyukur masih mempunyai tempat tinggal meskipun sederhana, yang ditempati oleh 3 orang. Bu Fatimah, Ibunya sarah yang bekerja sebagai penjual gorengan keliling; Amar, kakaknya sarah, yang sekarang sedang duduk di bangku kuliah Universitas Pendidikan Indonesia, dengan disambi mengajar les private; dan si bungsu sarah, kelas 3 Aliyah. Sedangkan bapaknya, sudah meninggal 10 bulan yang lalu karena kecelakaan.
“Saraaahh.. assalamu’alaikum, Saraahh.”
“Iyaa, wa’alaikumsalam, masuk Raaan.”
Mendengar suara Sarah, Rani langsung masuk menemui Sarah. Sambil melihat sekeliling, Rani bertanya, “Pada kemana sar, kok tumben sepi?”
“Ah, emang tiap hari sepi kan Ran, kamu tau sendiri, kalau jam segini rumahku sepi.”
“Tapi kok aku gak liat ibu, kemana?”
“Tadi sih bilangnya mau ke kondangan anaknya Pak RT.”
“Ooohh.”
“Ran, makan yuk, ibu tadi masak tahu balado.”
“Wah enak tuh, tapi sayangnya aku udah makan. Kalau kamu mau makan, makan aja dulu sana.”
“Gak ah, gak enak masak makan sendiri, langsung belajar aja lah.”
“Tapi kalau sakit, aku gak ikut tanggung jawab loh ya.”
“Iye iye, takut banget sih.”
Sarah dan Rani mulai membahas soal-soal. Tapi tak lama kemudian, Rani mulai mengajak ngobrol Sarah,
“Eh, kamu inget gak sama…”
“Inget sama siapa?”
“Sama yayang kamu…”
“Yayang? maksudmu siapa Ran?”
“Alah, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, maksud aku itu Ardi.”
“Ya inget lah, masa sama temen sendiri lupa.”
“Temen apa temen, ngaku aja deh, kamu kangen kan sama Ardi.”
“Udah ah, kamu itu sukanya menggoda, lagian gak ada pentingnya bahas Ardi, mending bahas soal-soal latihan aja lah, ini baru penting.”
“Kata siapa gak penting, penting lah, buat masa depan.”
“Sok tau kamu, udah ah, kalau mau bahas Ardi, bahas aja sendiri, aku mau belajar.”
“Ah, kamu mah gak asik.”
“Terserah.” Jawab Sarah dengan singkat.
Rani melirik sahabatnya yang selalu tenang,
‘ah, sarah… sarah, kamu dari dulu kalau bahas ardi selalu menghindar.‘ batin Rani
Setelah selesai belajar bersama, Rani berpamitan pulang. Rani segera bersiap-siap mengajar TPA di masjid dekat rumahnya. Begitu juga dengan Sarah. Ketika Sarah hendak keluar, ibunya datang. Sekalian saja Sarah berpamitan kepada ibunya. Di jalan, Sarah bertemu dengan Rani. Mereka berdua pun jalan beriringan. Di teras Masjid, ada Ustad Heri yang sedang duduk, menunggu Sarah dan Rani datang karena sama-sama mengajar di TPA masjid. Ustad Heri terbilang cukup muda. Usianya baru 21 tahun, tetapi sudah sering berceramah di masjid-masjid, dan namanya juga sudah tersohor dimana-mana. Dikarenakan seringnya berdakwah inilah, ia disebut “Ustad” oleh masyarakat. Selain itu, Ustad Heri adalah temannya Amar, kakaknya Sarah, yang juga sama-sama kuliah di UPI.
“Ustad mudaa.” panggil Rani dengan senyuman anehnya.
“Hush, Rani, bukannya ngucapin salam, malah manggil ustad dengan panggilan anehmu itu.” kata Sarah sambil menyikut lengan Rani.
“Hehehe, assalamu’alaikum, ustad muda.”
“Wa’alaikum salam Rani.”
“Aduh maaf ya ustad, Rani emang suka gitu.” sambung Sarah
“Ah, gak apa-apa kok, sudah biasa.”
“Tuuhhh kan, ustad muda aja bilang gak apa-apa, ustad muda kan baik hati dan tidak sombong.”
Ustad Heri hanya tersenyum mendengar ocehan Rani. Sementara Sarah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sambil menatap aneh kelakuan rani.
“Ya udah, ayo kita masuk, kasihan anak-anak sudah menunggu.”
“Okay ustad mudaaa.” Sambil menyelonong masuk duluan.
Ustad Heri hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat kelakuan Rani. Sarah dan Ustad Heri menyusul dari belakang.
—
Bulan bersembunyi di balik awan mendung. Terdengar beberapa kali suara petir yang memecah sepi suasana malam itu. Angin pun tidak mau kalah, meniup-niup udara dengan kencang, membuat orang begidik kedinginan. Sepertinya cuaca sedang tidak ingin bersahabat saat ini. Suara jendela yang menutup dan membuka sendiri di salah satu rumah, dikarenakan ulah angin membuat penghuni rumah itu merasa terganggu.
“Saraaah… saraaahh” teriak ibunya.
Karena tidak ada jawaban dari sarah, ibunya beranjak menuju kamar sarah. Dari depan kamar, sudah kelihatan kalau Sarah sudah tidur. Ibu masuk ke kamar Sarah, hendak menyelimuti sarah. Tanpa sengaja, ia melihat Sarah memegang buku tipis dan sebuah foto bapak. Di ambilnya buku tipis situ, dan ia mulai membacanya.
Bapak, apa kabar disana, semoga bapak baik-baik saja. Disini sarah, ibu dan mas amar tidak pernah lupa mendoakan bapak. Pak, langsung aja ya, sebenarnya, sarah pengeeen banget bisa nerusin ke perkuliahan. Sarah pengen kaya mas amar, bisa menjadi seorang mahasiswa yang hebat, menjungjung cita-cita dan harapan yang selama ini sarah harapkan. Menjadi dokter. Iya pak, sarah pengen mengobati orang yang sakit, terutama yang sakit itu orang yang gak mampu kaya kita pak. Jadi nanti kalau sarah sudah mampu, sarah bisa membuka klinik atau tempat buat orang periksa kesehatan tanpa perlu membayar pak.
Bu Fatimah berhenti membaca tulisan Sarah. Ia tak mampu membendung air matanya. Tetapi Bu Fatimah penasaran dengan lanjutan dari isi tulisan Sarah.
Tapi sarah tahu diri kok pak, sarah tahu, kalau ibu tak akan mampu membiayai sarah. Bapak tahu kan, biaya kuliah itu gak murah. Apalagi kata orang, kedokteran itu paling mahal daripada yang lainnya. Kemaren, waktu ibu nanya sarah, sarah bilangnya pengen kerja aja, soalnya udah capek sekolah. Padahal sebenarnya gak pak. Sarah Cuma tidak mau membebani Ibu pak, karena saat ini tinggal Ibu lah yang Sarah punya selain mas Amar. Tapi biarlah pak, hanya waktu yang bisa menjawab semua ini. Kalaupun sarah gak jadi kuliah, gak apa-apa kok pak, yang penting salah satu dari keluarga kita ada yang sarjana. Iya kan pak, mas amar… iya, mas amar lah calon sarjana itu. Biarlah sarah hanya lulusan SMA biasa. Sarah hanya bisa berharap, semoga keinginan sarah untuk bisa kuliah, terwujud pak. Walaupun semua itu tidak mungkin, tapi bagi Allah semuanya menjadi mungkin…
Bu Fatimah segera menyelimuti Sarah dengan selimut yang tebal, sambil mengusap rambut Sarah. Setelah itu ia langsung keluar karena tidak kuasa menahan air mata, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginan mulia anaknya agar bisa menjadi dokter. Malam itu, ia sengaja tidak tidur karena ingin shalat, bermunajat kepada Allah agar dimudahkan segala urusannya, termasuk juga urusan Sarah. Setelah shalat dan berdo’a, ia membaca Al-Qur’an. Hingga tidak terasa, adzan subuh telah berkumandang.
Bu Fatimah segera melanjutkan shalat subuh berjamaah dengan anak-anaknya. Karena sudah menjadi kebiasaan Sarah dan keluarganya, shalat subuh dengan berjamaah. Dilanjutkan dengan memasak dan membersihkan rumah bersama-sama. Ketika sarapan pagi sedang berlangsung, Amar membuka pembicaraan.
“Bu, ibu gak apa-apa kan, kok dari tadi diem terus?”
“Amar, kalau lagi makan jangan bicara!” jawab Bu Fatimah dengan nada agak membentak
Amar langsung diam dan melanjutkan makan. Sementara Sarah hanya melirik ibunya dan Amar secara bergantian.
“Bu, sarah pamit dulu ya. Soalnya janji sama temen mau datang agak pagi.”
“Amar juga bu, hari ini dosennya ngajar pagi, soalnya nanti siang ada acara.”
“Ya sudah, sana!” masih dengan nada membentak.
Amar dan Sarah mencium tangan ibunya, dan bergegas pergi meninggalkan ibunya yang masih makan.
“Mas, ibu kenapa ya, kok gak kaya biasanya.”
“Mas juga bingung. Sebenernya sih, Mas gak ada jadwal pagi, tapi karena takut ibu makin marah, ya bilang aja ada kuliah pagi.”
“Iya mas, Sarah juga. Sebenernya pengumuman kelulusannya ntar jam 8, ini masih setengah tujuh.”
“Ya udah lah, ayo berangkat aja.”
“Iya mas.”
Kakak beradik itu segera berangkat. Tetapi tidak langsung ke tempat tujuan, melainkan mampir ke rumah temannya. Amar menjalankan motor warisan bapaknya dan langsung meluncur. Sedangkan Sarah berjalan ke rumah Rani. Rani yang sedang duduk nyantai di ruang tamu melihat sarah menuju ke arahnya, mengernyitkan kening. Setelah Sarah masuk, Sarah menceritakan apa yang barusan terjadi dirumahnya. Rani yang mendengarnya hanya manggut-manggut. Tak terasa waktu menunjukan pukul 8. Sarah dan Rani segera berangkat ke sekolah, karena hari ini ada pengumuman kelulusan.
Memang, pengumuman kelulusan bisa dilihat di website sekolah mereka. Tetapi pihak sekolah menyuruh para siswa agar datang ke sekolah dahulu. Bahkan sebagian besar ada yang membawa laptop ke sekolah, sekalian membuka website. Sarah dan Rani pun ikut nimbrung ke temannya yang membawa laptop, karena ingin tahu secepatnya. Tak lama kemudian, suara jeritan dan tangis menyelimuti mereka, para siswa yang lulus. Ada yang melonjak-lonjak kegirangan, ada yang saling berpelukan sambil menitikkan air mata bahagia, dan ada juga yang berpegangan tangan sambil berputar-putar. Suasana yang penuh dengan kebahagiaan itu terus berlanjut. Tak ketinggalan juga, guru-guru mereka yang telah mendidik dengan penuh kesabaran, tersenyum bahagia yang tak terkira, melihat anak-anak didiknya lulus semua. Ya, baru kali ini Madrasah Aliyah Negeri 1 bisa meluluskan siswa seluruhnya, tanpa terlewatkan 1 siswa pun. Para siswa berbondong-bondong lari menghampiri guru-guru dan langsung memeluk para guru. Mereka semua terisak. Terisak bahagia karena lulus, dan terisak bersedih karena sudah tidak bisa bersama-sama lagi seperti kemarin. kalaupun bisa, itu tidak akan sering, karena mereka semua akan menghadapi hari-hari selanjutnya masing-masing.
Setelah semua merasa sudah cukup, mereka bergegas pulang, tak sabar ingin memberi kabar bahagia ini kepada keluarga masing-masing. Ketika Sarah dan Rani hendak pulang, Bu Ratna, Guru BK memanggil Sarah.
”Mau pulang ya?” Tanya Bu Ratna.
“Iya bu.” jawab Sarah dan Rani dengan bersamaan.
“Bentar ya, Sarah kamu bisa gak bicara sebentar sama ibu.”
“Memangnya ada apa ya bu.”
“Ya ada yang mau ibu bicarakan. Bentar kok. Bisa kan?”
Sarah menatap Rani, seolah-olah meminta persetujuan. Rani pun menjawabnya dengan anggukan.
“Ya udah bu, bisa.”
Bu Ratna segera mengajak Rani dan Sarah masuk ke ruang guru, dan menyuruh mereka duduk.
“Mmm, Sarah, ibu mau tanya, setelah ini kamu mau melanjutkan kemana”
“Ehhem, Sarah masih kurang tau bu, soalnyaa…”
“Masalah ekonomi?”
“Iya bu.” jawab sarah dengan menunduk.
“Begini Sarah, selama ini ibu melihat potensi kamu itu luar biasa. Nilai ujian kamu ini hampir mendekati sempurna. Apalagi nilai-nilai IPAnya. Seandainya kamu bisa kuliah, kamu mau ambil jurusan apa?”
“Sebenarnya, saya dari dulu pingin jadi dokter bu.” masih menunduk
“Wah, bagus itu. Itu pekerjaan yang bagus, bisa mengobati orang sakit..”
“Iya bu, tapi saya merasa, saya gak pantes buat kuliah. Saya bingung bu, dapat biaya dari mana. Bapak sudah gak ada, sedangkan ibu…”
“Sudahlah sarah, kamu jangan pesimis begitu. Orang berbakat kayak kamu, sayang kalau tidak melanjutkan. Begini saja, ibu bakal cari info tentang beasiswa. Kalau ada, kamu mau kan?”
“Mau bu, mau.. Tapi apa tidak merepotkan ibu?”
“Ya tidak Sarah, itu sudah menjadi kewajiban seorang guru. Menjadikan anak didiknya menjadi lebih baik. Kamu tidak usah khawatir ya, pasti ada kok.”
“Sebelumnya saya mau bilang terimakasih yang banyak bu. Ibu sudah mau repot-repot membantu.”
“Sudah, gak apa-apa. Ya sudah, kamu pulang dulu, nanti ibu kamu mencari.”
“Sekali lagi makasih ya bu.”
“Iya sarah. Hati-hati ya.”
“Kami pamit bu.”
Setelah bersalaman dan mengucapkan salam, Rani dan Sarah segera pulang. Di perjalanan, Sarah memikirkan perkataan gurunya itu. Sebenarnya pengen sekali ia bisa melanjutkan. ‘ah, semoga aja dapat.’ Batinnya. Rani mengerti apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu. Rani juga meyakinkan kalau sarah memang harus melanjutkan ke perguruan tinggi karena potensi yang dimiliki sarah sangat besar. Sarah hanya tersenyum mengiyakan.
Di rumah, Sarah menceritakan pembicaraan ia dan Bu Ratna tadi kepada ibunya. Ibunya hanya diam dan tidak merespon omongan Sarah. Sarah tidak putus asa. Ia terus meyakinkan ibunya, kalau Sarah mampu kuliah. Bahkan Sarah siap kalau bisa, kuliah sambil bekerja seperti kakaknya, Amar. Tiba-tiba Bu Fatimah menatap anaknya dengan tajam. Sarah siap dengan resikonya, ia mengira kalau ibunya akan memarahinya, dan tetap keras dengan pendiriannya, tidak mengizinkan Sarah kuliah. Tanpa disangka-sangka, ibunya memeluk Sarah dan menangis. Ibunya meminta maaf dan mengizinkan Sarah untuk kuliah. Sarah merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan tak lupa ia mengucap syukur. Kini tinggal kepastian dari gurunya, ada atau tidaknya beasiswa untuk dirinya.
Beberapa hari kemudian, Bu Ratna datang ke rumah Sarah, untuk mengabarkan bahwa di UI (Universitas Indonesia) ada beasiswa untuk jurusan yang di inginkan oleh Sarah. Dengan wajah yang berbinar, Sarah mengucap syukur dan berterimakasih kepada Bu Ratna atas info yang diberikan. Ia berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa masuk ke UI. Karena salah salah satu persyaratan beasiswanya itu adalah harus sudah diterima menjadi mahasiswa UI, tentunya Sarah harus melewati tes terlebih dahulu.
—
Hari itu Sarah sengaja membeli koran untuk melihat pengumuman diterima atau tidaknya menjadi mahasiswa. Dengan mengernyitkan kening, dan hati yang tidak berhenti berdo’a, matanya melihat teliti baris demi baris untuk melihat namanya. Setelah beberapa menit mencari, tiba-tiba Sarah membelakkan matanya, sambil mengucap syukur berulang kali.
“Ibuuu… Buuuu…” teriak Sarah.
“Ada apa Sarah, kenapa kamu teriak-teriak seperti itu.”
“Bu, Sarah diterima Bu..”
“Diterima apanya Sarah?”
“aduh Bu, coba ibu liat ini.”
Sarah menunjukkan namanya yang tertulis di koran. Amar datang menghampiri.
“Ooh, ya Allah, kamu diterima di UI itu Sarah?”
“iya Bu, Sarah seneng banget.”
“wah, selamat ya adekku.. adekku ini memang hebat.” Sambung Amar
“Iya kak, Alhamdulillah, berkat doa Ibu dan Mas Amar.”
“Dan juga berkat usaha kamu nak”
“Iya bu.” sambil tersenyum
“Eh Sarah, nanti, kalau kamu ospek, hati-hati loh.” Kata Amar
“Loh, kenapa memangnya.”
“Kamu, bakal disamain kaya…”
“Disamain kaya apa mas?”
“Kaya orang gini…” Sambil menempelkan telunjuk di keningnya dengan posisi miring
“aaahhh, mas Amar nih, sukanya gitu.”
Kakak beradik itu saling berkejaran. Bu Fatimah hanya tersenyum melihat kelakuan anaknya. ‘ah, aku bangga sekali melihat anak-anakku akan menjadi seorang yang sukses. Pak, kalau aja bapak ada disini, pasti bapak juga akan senang dan bangga melihat anak-anak kita pak. Ibu kangen sekali sama bapak’ batin Bu Fatimah. Tiba-tiba ia merasakan pusing yang sangat, dan pandangan matanya terasa gelap. Tak lama kemudian, ia tak sadarkan diri. Sarah dan Amar berlari menghampiri ibunya ketika ibunya jatuh tersungkur.
Mereka berdua sangat panik, dan langsung membawa ibunya ke Rumah Sakit terdekat. Setelah diperiksa, dokter mengatakan kepada Sarah dan Amar, kalau ibunya terkena penyakit kanker otak stadium rendah. Sarah menitikkan air mata, seolah-olah tak percaya perkataan dokter. Amar hanya menunduk sedih. Dokternya menyarankan agar Bu Fatimah melakukan local kemoterapi dan radioterapi selagi penyakitnya itu masih tidak terlalu parah. Tetapi kakak beradik itu bingung karena tidak ada biaya untuk membayar terapi ibunya. Disisi lain, mereka ingin menyelamatkan ibunya. Mereka pun pulang disertai ibunya, karena ibunya meminta pulang semenjak sadar dari pingsannya.
Sarah menghampiri kakaknya yang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya.
“Mas..”
“hmm?” tanpa melihat ke arah Sarah
“Sarah bingung mas, apa sebaiknya Sarah kerja saja, cari biaya buat pengobatan ibu ya. Sarah gak tega mas liat ibu sakit. Sarah gak mau kehilangan orang tua kita yang tinggal satu. Apa Sarah gak usah kuliah saja ya mas.” Kata Sarah sambil menunduk dan memainkan ujung bajunya dengan tangannya.
“Sarah, kamu ini ngomong apa, kamu gak usah bingung cari biaya, biar mas saja yang cari. Kamu itu perempuan, dan di rumah ini masih ada anak laki-laki yang harus menggantikan bapak mencari uang, lagian kamu tau kan, biaya kemoterapi itu sekali jalan, biayanya satu juta. Tadi dokternya malah bilang jalanin kemoterapinya harus enam kali biar bisa sembuh total.”
“tapi mas..”
Amar membalikkan tubuhnya ke arah Sarah.
“Sudahlah Sarah, percaya sama mas. Kamu berdoa saja. Biar mas yang usaha. Dan jangan lupa, kamu tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, ingatlah selalu padaNya. Kamu tau kan salah satu ayat Al Qur’an, “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya?, tau kan ayat itu?”
“Iya mas.” jawabnya singkat
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Serahkan semuanya pada Allah.”
“Makasih ya mas. Sarah beruntung benget punya kakak sebaik dan sesholeh mas Amar.”
“Iya insyaallah. Ya sudah, mas mau ngerjain tugas dulu.”
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sarah dan Amar saling berpandangan. “Siapa sar, coba kamu buka pintunya.” Sarah menuruti perintah kakaknya. Tamu itu ingin menemui dan berbicara dengan ibunya Sarah. Sarah pun terpaksa membangunkan ibunya yang sedang tidur. Sementara ibunya menemui tamu, Sarah membuatkan teh hangat. Setelah Sarah mengantarkan minumannya ke depan, secara tidak sengaja Sarah mendengar Tamu itu berbicara, “Bu, ini hutang saya yang dulu pernah saya pinjam ke almarhum pak Idris. Saya minta maaf bu, atas keterlambatan membayar hutang beliau.” Sambil menyerahkan amplop cokelat yang tebal. Karena Sarah penasaran, ia pun duduk di sebelah ibunya. Bu Fatimah heran ketika menerima amplop itu, karena seingatnya, tamu ini hanya meminjam sedikit. Tamu itu mengerti keheranan Bu Fatimah. “Begini bu, saya sudah bernadzar kalau misalnya saya terlambat membayar, maka satu hari uang itu akan saya tambah sebanyak dua puluh ribu. Ini kan sudah lama, maka saya juga harus menambahkan banyak.” Ketika bu Fatimah menolak, tamu itu menjelaskan kalau ia sudah bernazar, dan hukumnya nazar itu adalah wajib, Bu Fatimah akhirnya menerima dengan ucapan syukur dan berterima kasih kepada tamu. Setelah minum teh, tamu itu pun segera pamit. Sarah dan Bu Fatimah saling berpelukan dan menangis bahagia. Benarlah kata kakaknya tadi, Allah akan memberikan jalan keluar dan rizki yang tidak disangka kepada hambanya yang bertaqwa dan mau meminta kepadaNya.
Uang dari piutang itu digunakan untuk pengobatan Bu Fatimah. Sarah mengucap syukur berulang-ulang, ibunya kini telah sembuh dari penyakit yang membahayakan. Dengan ini Sarah bisa tenang untuk melanjutkan kuliah, yang sebelumnya ingin diputuskan saja. Hingga tibalah hari dimana ia pertama kali masuk ke kampus, yang selama ini ia impikan. Selama tiga hari Sarah dan mahasiswa baru lainnya melakukan kegiatan ospek. Hari berikutnya, hanya masa perkenalan antar mahasiswa baru, dengan dosen, dan dengan lingkungan UI. Ketika salah satu mahasiswa berbicara untuk memperkenalkan diri, Sarah mengernyitkan keningnya, dan dadanya berdebar. ‘itu kaaan, ar… di… ia, itu ardi. Ya Allah, ternyata dia juga kuliah disini.’ “Sarah, kamu kenapa?” mendengar pertanyaan dari teman barunya, Sarah tersadar dari lamunannya. “Hah, eh, gak apa-apa kok nayla.”
Dosen yang saat itu ada di kelas Sarah, mulai berbicara, “Nah, sedikit pengetahuan buat kalian semua, Bapak akan menceritakan sejarah singkat dari fakultas yang saat ini kalian ambil, dan tempat yang kalian tempati saat ini. Sejarah FKUI ini tidak terlepas dari sejarah pendidikan dokter di Indonesia yang dimulai sejak zaman penjajahan belanda.Tahu kan FKUI itu apa, masak ambil jurusan ini tidak tahu apa itu FKUI.”
“Iya tau paaak.” Jawab para mahasiswa dengan serempak. Dosen pun melanjutkan, “baik, nah, adapun momentum pendidikan kedokteran di Indonesia lahir pada tanggal 2 januari 1849. Dua tahun kemudian, tepatnya pada bulan Januari 1851, dibukalah sekolah pendidikan kedokteran di Weltevreden dengan jumlah siswa sebanyak 12 orang. Titik terang semakin terlihat ketika lulusan sekolah tersebut digelari dokter Djawa. Lebih dari 20 tahun, tepatnya tahun 1898, barulah berdiri sekolah pendidikan kedokteran yang disebut STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen). Kemudian pada masa jepang, stovia kembali berganti nama menjadi Ika Daigaku. Setelah berulang kali berganti nama, sebuah titik terang pun muncul di awal tahun 1950. Pemerintah meresmikan sekolah kedokteran pertama di Indonesia dengan nama Fakultas Kedokteran Indonesia…” Sarah tidak memperhatikan dosennya, dari tadi matanya hanya memandang Ardi.
Hingga waktu menunjukkan pukul 12.00. Mahasiswa baru diperbolehkan pulang lebih awal.
“Assalamu’alaikum.” Sapa Ardi.
“Wa’alaikum salam. Eh, Ardi.”
“Iya Sarah, aku gak nyangka bisa bertemu kamu lagi disini.”
“Weey, punya temen cewek cantik kok gak dikenalin sih brow…” Sahut Fadil, teman Ardi.
“Iya Fadil, kenalin, ini Sarah.. Sarah, kenalin, ini Fadil.”
Ketika Fadil mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Sarah hanya menelungkupkan kedua tangannya. Seketika, Fadil melakukan hal yang sama. Ardi hanya terkekeh-kekeh. Sedangkan Sarah menatap Ardi sambil tersenyum. Sarah jadi teringat masa kecilnya bersama Ardi. Dulu teman-temannya sering menjodoh-jodohkannya dengan Ardi. Ia dan Ardi sangat malu, tetapi lama-lama hal itu sudah bagaikan santapan sehari-hari bagi mereka berdua. Teman-temannya memanggil Ardi dan Sarah dengan panggilan Arsa (singkatan Ardi dan Sarah). Pernah saat itu Sarah sedang berjalan, tiba-tiba terpeleset, dan tepat di belakangnya ada Ardi. Dengan spontan Ardi menahan Sarah agar tidak jatuh. Untunglah saat itu tidak ada temannya yang melihat.
“Sarah,.. Hey”
“Iya Arsa,. Eh. Emm ma… maaf, maksudku, Ardi.” Sarah kikuk dan secara tidak sadar ia telah memanggil sebutan Arsa pada Ardi. Ardi yang mendengar Sarah memanggil Arsa tersenyum. ’ternyata Sarah masih ingat dengan nama itu’.
“kamu mikirin apa?”
“ehm, gak mikirin apa-apa kok.”
“ya udah, aku pulang duluan ya. Ada urusan di rumah.”
“Emm, iya, Ardi.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Sarah merasa malu, karena tanpa sadar ia memanggil Ardi dengan panggilan itu. Gara-garanya tadi ia melamunkan masa kecilnya bersama Ardi.
Hari kedua kuliah, baru di mulai mata kuliah sesuai jadwal. Sarah mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Ia sudah memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan yang lainnya selain belajar dan belajar, termasuk dengan Ardi. Sarah ingin menahan diri dari gejolak-gejolak “cinta” yang selama ini ia rasakan pada Ardi.
Dan tak terasa waktu cepat berlalu, kini tibalah saatnya mahasiswa angkatan Sarah wisuda. Sarah sangat bersyukur karena ia akhirnya bisa lulus dari apa yang selama ini ia impikan, lulus dengan hasil yang sangat memuaskan, mendapat nilai caumlade. Hari itu suasana penuh dengan kebahagiaan dan keramaian oleh sanak keluarga dari masing-masing wisudawan. Bu Fatimah yang saat itu hadir, meneteskan air mata bahagia. Setelah acara selesai, para wisudawan beserta keluarganya saling berfoto untuk kenang-kenangan. Sarah menghampiri Bu Fatimah, dan memeluknya. Tiba-tiba ada yang memanggil, “Bu Fatimah?” Bu Fatimah dan Sarah menoleh. Bu Fatimah terkejut seraya mengatakan,
“Loh, Bu Siska? Kapan datang ke Jakarta?”
“Loh, kan sudah lama bu, semenjak si Ardi lulus SMAnya, terus melanjutkan kesini.”
“Oooh, nak Ardi kuliah disini juga?”
“Iya Bu, satu jurusan sama Sarah.” Jawab Ardi.
“loh loh loh… Sarah ini gimana, kok gak bilang ibu kalau kamu satu jurusan sama Ardi.” Sambil menatap Sarah. Sarah hanya tersenyum malu dan menunduk.
“Ya mungkin malu bu, cerita ke ibu. Oh iya, Sarah, selama ini Ardi sering cerita tentang kamu loh, katanya kamu sekarang tambah cantik dan sholehah, cerdas lagi. Ternyata emang bener ya, apa yang Ardi bilang.” Sambung Bu Siska.
“Ah, Ibu, jangan ceritain gitu napa, kan malu bu” kata Ardi. Sarah yang mendengarkan tersipu malu. Bu Siska menambahkan, “kenapa malu Ardi, ibu tau kok, kamu itu suka sama Sarah kan dari dulu.” “Ibuuu.” “hahaha, kalau gitu, ditunggu lamarannya ya nak Ardi” kata Bu Fatimah. “Ih, si ibu malah ikutan, Sarah kan belum bilang iya.” “iya nak Sarah, tenang saja, secepatnya kami sekeluarga akan cepat-cepat melamar nak Sarah, eh maksudnya itu, Ardi yang melamar.” Jawab Bu siska, seolah-olah itu adalah jawaban dari pertanyaan Sarah sendiri. Sarah dan Ardi hanya tertunduk malu.
“Baiklah kalau begitu, Bu Siska, nak Ardi, kami pamit dulu.”
“Mau pulang? Bareng saja Bu, naik mobil kami, kan rumahnya searah.”
“Ah, tidak usah Bu, merepotkan saja.”
“Tidak merepotkan Bu, kan sebentar lagi kita akan jadi misanan.”
“Ih, ibu, kok mulai lagi.” Kata Ardi
“Ayo, ayo Bu, Sarah, mari..”
Mereka pun segera meluncur. Dijalan, orang tua Ardi menanyakan tentang lamarannya pada Ardi. Pertama kali, Ardi menolak karena malu. Tapi setelah didesak, akhirnya ia mau juga. Terjadilah kesepakatan, minggu depan, Ardi akan melamar Sarah. Sarah segera menyampaikan kabar gembira ini kepada Rani. Sambil membelakkan matanya, Rani berkata, “hah, sumpeh loe!!” “Ya Allah Ran, kamu kok malah ngerespon kaya gitu. Aku ini beneraaan..”
“Ya Allah Sarah, selamat ya, aku cuma bisa mendoakan, semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warohmah.” “amiin.. amin. Kamu kapan dilamar sama Ustad muda mu itu?”
“Ah, kamu itu tauuu aja kalau aku suka sama Ustad muda. Ehem, aku kasih tau ya, kemarin, Ustad muda udah ngelamar akuu. hehehe.”
“Oh ya? Ya Allah raniii.. kedua sahabat itu saling berpelukan bahagia.
—
Malam ini Ardi dan kedua orang tuanya akan datang ke rumah sarah untuk melamarnya. Sarah merasa beruntung akan memiliki seorang laki-laki, yang selama ini sarah mengenalnya sebagai sosok yang sholeh, dan menjadi idaman bagi setiap wanita. Sarah yakin pilihannya tidak salah, dan ia yakin Ardi mampu menjadi pemimpin rumah tangga yang baik, yang sesuai dengan syari’at islam. Apalagi Sarah sudah memiliki kemantapan hati sepenuhnya untuk menerima lamaran dari Ardi, karena malam-malam sebelumnya ia juga melakukan shalat istikharoh.
Acara lamaran malam itu berlangsung dengan lancar. Semua yang hadir mengucap hamdalah bersamaan, setelah pihak wanita menerima lamaran dari pihak laki-laki.
Beberapa bulan kemudian, tibalah hari yang sangat bersejarah bagi Sarah. Ya, Sarah melangsungkan pernikahan dengan Ardi. Mereka berdua merasakan bahagia. Bagaimana tidak, selama ini mereka sudah saling menyukai satu sama lain, meskipun perasaan itu hanya terpendam di hati. Dan sekarang perasaan itu telah menyatu di dalam ikatan yang sah, sajadah pernikahan. Rani sudah mendahului Sarah seminggu yang lalu. Amar juga sudah mempunyai calon, dan akan merencanakan menikah setelah hari raya idul fitri.
Setelah menjalani hari demi hari, dan bulan demi bulan, keinginan Sarah untuk membuka praktek kesehatan secara gratis telah terwujud. Kini mayarakat sekitar tidak perlu lagi ambil pusing mencari dana untuk berobat. Sarah merasakan kebahagiaan yang luar biasa atas pemberian karunia dan kenikmatan yang tak terhingga dari Allah, keinginan terpendamnya selama ini sudah mampu dijalaninya. Kenikmatan lainnya, ia mendapatkan seorang suami yang ta’at pada agama, dan selalu menghargai keinginan sang istri.
Cerpen Karangan: Rosa Lina
Facebook: di_cha3[-at-]hotmail.com
21.19
Unknown
Maaf Ukhti Dia Milliku
Hari ini adalah hari pertama Zahra dan Qonita praktek KKN di kampung Belati. Zahra sengaja memilih di kampung ini karena ia bisa leluasa bertemu dengan lelaki yang telah melamarnya minggu lalu. Meskipun tidak selalu bertemu karena belum sah menjadi suaminya, namun setidaknya ia bisa melakukan interaksi langsung dengannya, di temani kakak perempuannya. Zahra dan Nita (panggilan Qonita) segera bersiap-siap untuk mengajar di MTS. Tepat jam 7, mereka mulai mengajar. Hari itu mereka hanya mengajar 1 jam pelajaran, kemudian diperbolehkan pulang.
Karena pulang lebih awal, akhirnya mereka memutuskan untuk keliling kampung agar bisa lebih mengenal sekitar. Kampung Belati, sebuah kampung yang sederhana, tidak terlalu maju, tidak juga terbelakang. Hawanya pun tidak perlu dipermasalahkan. Tidak terlalu panas, karena masih banyak pepohonan besar. Jika hujan deras, tidak akan banjir karena selain airnya menyerap ke akar pohon, di kampung ini juga terkenal bersih. Dikarenakan keadaan kampung seperti inilah, Zahra dan Nita semakin betah tinggal sementara di kampung Belati. Hari demi hari, minggu demi minggu mereka lalui kehidupan yang penuh liku.
“Nitaa, aku duluan ya ke masjidnyaaa.” Teriak Zahra
“Iyaa…” Zahra pun segera berjalan menuju masjid, meninggalkan Nita yang masih mandi. Maklum, baru pulang karena tadi di sekolah ada acara. Tak lama kemudian, terdengar suara adzan isya. Nita segera mempercepat langkahnya begitu selesai mandi. Entah kenapa perasaan tidak enak menyelimuti dirinya. Tetapi ia mencoba menepis rasa itu dengan beristighfar. Tiba-tiba matanya melihat segerombolan lelaki yang sedang tertawa terbahak-bahak di belokan jalan menuju masjid. Ia bingung, karena ini adalah jalan pintas agar bisa cepat sampai ke masjid. Selain itu, waktunya juga sudah mepet jika harus balik memutar jalan. Dengan mengucap bismillah, ia melewati gerombolan lelaki itu sambil pandangan menunduk dan setengah lari. “assalamu’alaikum ustdzaaahh.. mau kemana? Boleh tau namanya gaak?” Nita tidak mempedulikan pertanyaan yang membuatnya gak penting, ia semakin mempercepat langkahnya. Tanpa disangka-sangka, ada seseorang yang mencengkeram dan menarik lengannya. Nita meringis. “Sombong amat mbak. Cuma tanya nama aja gak boleh.” “maaf, saya buru-buru mau shalat. Sudah ketinggalan.” Jawabnya sambil ketakutan. “Heh mbak, lihat sini!!!”
Namun tiba-tiba ada yang mengucap istighfar dengan keras. Semua mata menoleh pada sumber suara. Nita heran karena semua lelaki gerombolan itu tiba-tiba menundukkan pandangannya. Cengkraman di lengannya belum dilepas. “Ada apa toh ini. Kenapa ada keributan.” Lelaki yang mencengkeram lengan Nita menjawab, “Cuma becanda kok ustad. Iya kan mbak?” sambil menoleh tajam ke arah Nita. Nita gelagapan dan bingung harus menjawab apa. Lelaki itu semakin menguatkan cengkramannya. Dengan meringis, Nita hanya pasrah dan terpaksa menjawab “Iya.” Ustad pun melanjutkan ceramahnya, “Kalian kan tau, ini sudah waktunya shalat isya, apa kalian tidak mendengar adzan tadi? Kenapa malah asik nongkrong gak jelas kayak gini. Astaghfirullaah, apalagi sudah berbuat yang tidak-tidak sama mbak Qonita. Kalian lihat, mbak Qonita ini mau ke masjid, jangan kalian menggangu dengan ulah kalian yang menurut kalian itu asik dan perlu dilakukan.” Semuanya masih menunduk dan mendengar ceramah ustad dengan khusyuk. Entah kenapa jantung Nita berdebar kencang. Ia juga heran, dari mana ustad ini tau namanya. “Sudah, sekarang kalian bubar, dan segera berwudhu, cepat shalat isya. Ayo!” Satu persatu meninggalkan tempat itu. Kini tinggal ustad dan Nita berdua. “Ehm, mbk Qonita mau ke masjid juga ya?” “Iya ustad. Syukron sudah menolong.” “iya, sama-sama. Ya sudah kalau gitu, bareng saja ke masjidnya.” “Iya, monggo ustad duluan.”
Selama diperjalanan, mereka berdua hanya tertunduk diam. Sebenarnya Nita ingin menanyakan, dari mana ustad itu tau namanya, ia juga gak tau nama ustad itu siapa. Tapi berhubung sudah sampai beranda masjid, maka niatnya ia urungkan. Mereka pun masuk melalui pintu yang berbeda arah. Nita dan ustad mengikuti gerakan imam, dan menambah kekurangan raka’at karena tadi ketinggalan.
Ketika mau pulang, Zahra menyuruh Nita untuk pulang duluan. Karena Zahra mau bertemu “someone” katanya. “kenalin donk..” Kata Nita becanda. “Iya kapan-kapan ya ukhti. Tenang aja, pasti Zahra kenalin kok.” Akhirnya Nita pulang duluan, meskipun agak takut kejadian tadi terulang lagi. Tetapi syukurlah, apa yang ditakutkan Nita tidak terjadi. Setelah sampai kost, Nita membuka Al-Qur’an dan membacanya dengan tartil.
Waktu menunjukkan jam 22.00, tapi Zahra belum pulang juga. Nita khawatir dan bingung. Ia mencoba menghubungi, namun tidak aktif. Akhirnya Nita memutuskan keluar, mencari Zahra. Ketika Nita membuka pintu, terlihat sesosok perempuan berjilbab berdiri di depan pintu, hendak mengetuk pintu, tapi keduluan dibuka Nita. “Ya Allah.. Zahra.. Ngagetin aja.. Dari mana toh, kok baru pulang jam segini.” “Hehehe.. iya maaf ukhti, tadi keasyikan ngobrol sama mbaknya ikhwan yang melamarku itu.” “Bikin khawatir orang saja. Ya udah, ayo masuk. Udah malem loh ini. Ndak baik kan perempuan jam segini masih diluar. Ukhti tau sendiri kan.” “Iya maaf ukh.” “Ayo tidur, besok kan harus ngajar.” “Iya ukhti cantiik.”
Mereka terlelap hingga shubuh, terdengar suara kokok ayam. Tak lama kemudian sang surya menampakkan dirinya di ufuk timur dengan ceria. Ia merasa bahagia telah membagi bagian dari dirinya dengan sinarnya yang hangat. Tidak hanya sang surya saja yang merasa bahagia, namun kedua perempuan jelita yang sholehah juga merasa bahagia karena bisa berbagi ilmu kepada murid-muridnya, mengamalkan apa yang selama ini di ajarkan oleh para pengajar yang setia memberikan jasa ilmu kepada setiap insan.
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, dengan semangat Nita bercerita kepada Zahra tentang ustad yang semalam telah menolongnya. Zahra yang mendengar sangat antusias dan penasaran dengan ustad itu. “kenapa ndak kenalan saja toh? Kan lumayan gitu. Hehehe.” “Dia sudah tau namaku ukhti. Aku juga heran, dari mana ustad itu tau namaku.” “Ehem. Kalo ikhwan itu jodohmu, piye, kamu seneng opo ora?” “Ah, ukhti ini bagaimana, kalau menurutku nih ya, setiap muslimah pasti menginginkan dirinya untuk jadi pendamping hidup.” “Jadi penasaran loh aku ini. Kapan-kapan kenalin ya.” “kenalin piye, wong aku saja ndak tau namanya kok. Lagian jarang ketemu. Cuma ketemu kemaren doank pas mau ke masjid.” “Nah, aku ada ide nih. Ntar kalau ke masjid, gimana kalo nunggu ikhwan itu datang. Ya ukhti gak usah minta kenalan. Cukup nunjuk saja.” “Ah, ndak mau ah. Ngapain coba.” “ya sudah kalo ndak mau. Aku ndak maksa kok.” Tak terasa mereka sampai di sekolah dan mulai mengajar karena bel tanda masuk sudah terdengar.
Entah kenapa Nita memikirkan ustad yang menolongnya semalam. ‘Astaghfirullah. Aku ndak boleh bayangin aneh-aneh. Kalo dia memang jodohku, pasti Allah akan mendekatkan dia melalui petunjukNya yang tidak keluar dari syari’at.’ Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Nita segera siap-siap ke kantor Guru untuk menemui Zahra dan mengajak pulang.
—
Nita dan Zahra berjalan keluar dari masjid berbarengan setelah shalat maghrib berjama’ah. Namun Zahra berbelok ke w.c. hendak buang air. Nita menunggu di luar, depan masjid. Kemudian seorang laki-laki mengucapkan salam pada Nita. Ternyata itu adalah ustad yang kemarin menolongnya. Mereka sempat berbincang-bincang tapi cuma sebentar. Setelah itu ustad pamit, berbarengan dengan kedatangan Zahra dari w.c. Karena Zahra penasaran melihat Nita tersenyum-senyum sendiri, Zahra pun bertanya. Zahra agak kecewa karena tidak sempat melihat ustad yang di sukai Nita. Sambil berjalan, Nita bercerita besok pagi -yang kebetulan hari minggu-, setelah lari pagi bakal nunjukkin dan mengenalkan ikhwan yang telah melamarnya 2 bulan yang lalu. Nita akhirnya bisa tahu jagoan Zahra yang selama ini ia ceritakan dan di puji-pujinya.
Hingga tidak terasa, pagi itu setelah lari pagi mereka istirahat sambil duduk-duduk di kursi kayu. Sementara Zahra beli minum di warung depan, Nita bertemu dengan ustad yang di impikannya. Ustad itu hanya mengucapkan salam, kemudian berdiri sambil bersandar di pohon dekat Nita duduk. Ingin sekali rasanya mengajaknya berkenalan. Tapi di urungkan niatnya itu, karena Nita merasa tidak pantas dan tidak baik jika harus mengajaknya bekenalan. Ia hanya bisa memendam perasaan yang sudah menjalar di hatinya. Namun ia heran, kenapa ustad itu malah diam disitu. ‘ustad ini mau ngapain ya. Dateng-dateng kok malah diem dan berdiri. Sepertinya ini saatnya aku cerita ke Zahra, kalo selama ini ustad yang aku maksud ya ustad ini. Tapi kok ustadnya diem ya.. ndak ngomong apa-apa.’ Tak lama kemudian Zahra datang dan menyapa ustad itu, “Assalamu’alaikum mas Fahri.” Sambut Zahra sambil tersenyum. “Wa’alaikumus salam Zahra.” Kemudian pandangan Zahra beralih ke Nita. “Ukhti, ini ikhwan yang sering aku ceritain ke ukhti. Namanya Mas Fahri. Oh ya, ada kabar baik lagi, insyaallah bulan depan aku sama mas Fahri ngelangsungin sunnah Rasul.” Bagai di sambar petir, Nita kaget dan tidak percaya pada apa yang barusan ia dengar. Air mukanya telah berubah hanya dalam beberapa detik. Jantungnya berdegup kencang. Berbeda dengan yang kemarin, yang ini berdegup karena kaget dan kecewa. “Ukhti, kenapa? Kok kaya kaget gitu?” Nita hanya diam membisu sambil berfikir apa yang harus dia katakan pada Zahra bahwa selama ini ustad yang dikaguminya itu adalah calon suami Zahra sendiri. Karena lama menunggu Nita bersuara, akhirnya Fahri ikut bersuara, “Ehem, maaf Zahra. Aku udah kenal sama Qonita. Kemaren sempat bertemu di..” “Maaf Zahra, aku pulang duluan ya. Kepalaku tiba-tiba sakit. Assalamu’alaikum.” Kata Nita yang telah memotong pembicaraan ustad Fahri. Nita berbalik badan dan berlari. Zahra dan ustad Fahri yang melihatnya heran.
Nita duduk menyendiri di pinggir sungai yang begitu jernih. Sepi, tak ada orang. “Ya Allah, ternyata aku salah menyukai seorang ikhwan. Ternyata dia itu.. sebentar lagi sudah menjadi imam, menjadi pendamping hidupnya Zahra, teman dekat yang selama ini hidup besamaku. Aku baru bisa merasakan sakit ini, aku tau aku salah…” Tanpa Nita sadari, Zahra sudah berdiri dibelakangnya, dan mendengar semua keluhan Nita. “Nita…” Nita menoleh, dan kaget melihat Zahra ada di situ. “Za… Zahra..” Zahra memeluk Nita. Nita hanya bisa menangis, Zahra meminta maaf karena telah merasa menyakiti Nita, kemudian menghibur dan memotivasi Nita. Ia tahu kalau Nita adalah seorang perempuan kuat. Lama-lama Nita mulai sadar dan bangkit. Ia yakin Allah selalu bersamanya dan akan memberikan yang lebih dari pada ini. ‘Ya, suatu saat nanti Allah akan mengganti apa yang telah terjadi hari ini dengan yang lebih baik.’ Batinnya
Qonita tidak mau mengingat kejadian itu lagi, seolah-olah itu adalah angin yang berlalu. Ketika Zahra membawa suatu kabar baik, Qonita mampu kembali tersenyum ceria. Ada salah satu teman ustad Fahri yang sedang mencari akhwat sholehah untuk dijadikan pendamping. Ustad Fahri mencoba menanyakan pada Qonita melalui perantara Zahra. Qonita pun siap untuk mencoba berta’aruf dengannya minggu depan setelah magangnya selesai. Zahra dan Qonita berpelukan bahagia.
Cerpen Karangan: Rosa Lina
Facebook: di_cha3@hotmail.com
21.14
Unknown
Cintaku macet di simpang lima
Aku meniti jalan ini lagi. Kali ketiga dalam satu hari ini. Aku tahu sebenarnya banyak jalan-jalan lain yang tidak pernah macet dan jelas akan sangat menghemat waktu perjalananku pulang dari kantor, tapi jalanan ini berbeda. Aku bahkan rela terkena macet 30 jam dalam sehari di jalan ini. Sangat, sangat rela. Malah aku sedang dengan sengaja terkena macet di jalan ini sekarang. Juga berputar-putar dengan sengaja. Unik sekali bukan?
Apa yang salah dengan jalan ini? Tidak ada yang salah. Hanya hatiku yang salah. Hatiku harusnya kusut pasai terkena macet panjang, dengan bis-bis pariwisata, bis dalam kota, angkutan-angkutan umum, taksi-taksi, mobil-mobil pribadi dan kendaraan bermotor yang harus berebut jalan. Merangkak perlahan-lahan. Harusnya hatiku kusut dan emosiku meluap karena ingin cepat sampai – seperti kemarin-kemarin. Tapi tidak dengan tiga hari terakhir ini. Malah aku dengan bahagia, bersiul-siul rendah sangat menikmati keadaan yang panas-pengap akibat berebut oksigen dan perjalanan yang tiga kali lipat lebih memakan waktu. Menikmati setiap detiknya.
Apa yang terjadi? Em… tidak ada. Kecuali hatiku yang macet berfungsi bersamaan dengan macetnya jalanan ini. Macet oleh perasaan aneh yang membuang semua kewajaran saat aku sedang terkena macet. Macet terhadap semua gundah, semua kesal, semua emosi. Macet karena bunga-bunga cinta dari seorang Polisi Lalu Lintas yang menanggulangi macet. Kukira jika aku tidak terkena macet, satu hari saja, bisa jadi jantungku yang macet berfungsi.
Aku tidak tahu namanya. Pokoknya polisi itu selalu berdiri di sana. Di ambang salah satu jalan Simpang Lima yang menuju Banyumanik – jalur yang paling banyak dituju untuk meninggalkan Semarang, dan mengintruksi kendaraan yang berlalu-lalang, kapan harus maju, kapan harus berhenti. Dia menggantikan fungsi lampu lalu lintas yang sementara ini sedang diperbaiki. Gadis muda sang Polantas itu tidak terlihat lelah sama sekali, senyumnya selalu merekah saat mempersilahkan pengendara maju, atau berhenti. Peluit selalu tersemat di pundaknya. Terlihat begitu anggun dan mempesona. Padahal langit sudah semakin gelap. Awan merah mulai berarak lembut di langit, disusul panggilan sholat yang bersahut-sahutan. Dalam hati aku berdo’a, terus berdo’a supaya Tuhan mengizinkan aku mengenalnya lebih dekat. Juga supaya Dia memberiku kesempatan bertatapan langsung dengannya dan menanyakan namanya. Juga mengizinkan aku menjadikannya pendamping hidupku. Memangnya aku bisa minta pada siapa lagi selain pada-Nya?
Sampai di jalur Banyumanik itu aku melirik sang Polwan, dia menghentikan laju mobilku dengan aba-aba, dan senyumannya nyaris menghentikan laju jantungku. Di dada kirinya tersemat papan nama kecil bertuliskan “Raya”. Ternyata itu namanya. Pantas saja semesta raya seolah tertawan olehnya. Ah, puitis sekali aku hari ini.
Sebenarnya aku punya beberapa kali kesempatan untuk menegur Raya. Bagaimana tidak? Aku sudah berputar tiga kali dalam sehari di Simpang Lima selama tiga hari berturut-turut. Bahkan terkadang lebih. Tapi entah kenapa, hanya melihat senyumnya saja kakiku langsung lemas, jantungku mendadak malas berdetak – hingga jadi sesak, lidahku kelu, otakku jadi lambat berfikir dan tidak mampu mengingatkan bahwa kesempatan mungkin tidak akan datang dua kali. Aku sering khawatir Raya berhenti bertugas di situ, atau khawatir lampu lalu lintasnya selesai diperbaiki. Karena jika itu terjadi, aku tidak akan lagi punya kesempatan untuk melihat Polwan-ku. Agaknya aku adalah satu-satunya pengguna jalan yang berdo’a supaya jalanan ini tetap macet. Setidaknya sampai aku bisa mengenal Raya lebih dekat. Memang do’a yang egois dan menyusahkan pengemudi lain yang melintasi jalan ini, tapi sekarang aku memang sedang ingin egois. Aku butuh jadi egois saat ini.
Sekali lagi aku berputar di Simpang Lima, kemudian kubelokkan mobilku ke masjid Baiturrahman yang megah dengan arsitektur jawa joglonya menghiasi perkotaan yang mulai ditumbuhi gedung-gedung pencakar langit, Mesjid tersebut berada di sisi jalur bundaran Simpang Lima, aku memarkirkannya di dekat menara. Selepas sholat, aku terpekur cukup lama di hadapan Tuhan. Meminta banyak hal dan terutama meminta Raya. Tuhan, hanya Engkau-lah yang bisa mengabulkan permintaanku, tolong izinkan aku mengenal sosok Raya lebih dekat, mengetahui asal-usulnya. Tuhan, jadikan Raya adalah tulang rusukku yang hilang, lalu kembalikanlah padaku secepatnya.
~ Raya ~
Harusnya aku mengundurkan diri tiga hari yang lalu. Meninggalkan jalanan macet ini dan rutinitasku di tengah-tengahnya. Ibuku sudah meminta itu sejak satu tahun yang lalu, dan aku sendiri sudah membulatkan tekad untuk melengkapi keislamanku yang baru seumur jagung dengan jilbab secepatnya. Maka saat instansiku tidak mengizinkan niatku ini, aku memutuskan untuk mengundurkan diri. Menurutku begitu lebih baik, toh aku tidak bisa terus berada di tengah jalanan seumur hidupku.
Sejatinya aku menikmati pekerjaanku. Setiap mobil yang melaju perlahan berdesakan, klakson-klakson yang beradu di langit jalanan, wajah-wajah emosi tidak sabaran, muka-muka ketus dan masam, dan kadang umpatan-umpatan sopir kendaraan. Seperti casting pertunjukan drama dimana semua orang diminta untuk memerankan tokoh antagonis. Kadang aku berfikir bahwa mereka seolah berebut menjadi yang terbaik dalam adegan klimaks sebuah sandiwara. Pasti sebelum terkena macet mereka tertawa, tersenyum, bahagia, dan sudah membayangkan wajah-wajah yang menanti mereka di tempat tujuan. Atau mungkin sudah mengilustrasi hidangan yang dipersiapkan seseorang di rumahnya sana. Maka aku berada di sini, di tengah jalanan ini, kadang tidak lagi karena tuntutan profesi, namun lebih karena panggilan hati untuk membantu orang-orang yang kesulitan melintas akibat macet itu agar segera sampai ke tempat yang menjadi tujuan mereka masing-masing.
Namun aku agak heran. Ada sesuatu yang menahan pengundur-dirianku, sesuatu itu agak berbeda. Dan membuat aku masih ingin bekerja di bawah terik matahari jalanan. Rasa penasaran pada satu sosok unik yang baru kali ini aku temui dari sekian banyak pengguna jalan yang selalu berganti-ganti sepanjang profesiku. Satu dari ribuan wajah-wajah yang masam, ketus, emosi, dan malah mengumpat, ada wajah yang tampak begitu tenang mengemudikan mobilnya, begitu santai dan menikmati kemacetan ini. Sejak tiga hari yang lalu aku merasa ada sepasang mata yang memperhatikan aku. Dan bukannya aku tidak tahu, sepasang mata milik pemuda tampan bermobil hitam dengan plat nomor H 679 AR itu terus melewati jalan ini tiga kali dalam sehari. Dengan wajah yang damai dan pandangan matanya yang tajam, seolah mengawasiku dengan lembut, hanya memandang saja dari jauh. Aku selalu berusaha mengacuhkan, tapi tatapan itu selalu terarah kemari. Kalau dipikir, gadis mana yang tidak tertawan oleh tatapan penuh makna seorang pemuda tampan seperti itu? Di antara puluhan pasang mata lain yang dalam sehari penuh menghujam, menyalahkan dan seakan meminta pertanggungjawaban atas jalanan yang selalu macet. Satu-satunya pengendara mobil yang tersenyum balik saat aku mengaba-abakan dia berhenti, atau maju.
“Raya, mau sholat dulu? Saya sudah. Saya bisa menggantikan kamu,” seorang rekanku menegur. Aku segera tersadar dari lamunan panjang. “Ah, iya. Terima kasih,” sahutku seraya tersenyum dan mempersilahkan rekanku itu menggantikan. Aku berjalan menuju masjid Baiturrahman yang letaknya paling dekat dengan posisiku saat ini.
Mobil hitam H 679 AR terparkir manis di samping menara masjid. Mungkin pemiliknya sedang menunaikan ibadah di tempat yang kutuju. Jika mengingat pemuda dengan sepasang mata teduh dan pandangan tajam itu, aku seperti menemukan sesuatu. Ada sesuatu dengan pemuda ini, yang tidak bisa aku definisikan apa, tidak mampu aku pahami kenapa. Namun setiap melihat wajahnya, aku merasa akan dekat dengannya, seperti sinyal yang mengidentifikasi bahwa akan ada ikatan dengannya. Hmf, aku tersenyum sendiri. Lucu dengan pikiran anehku. Kenal dengannya saja tidak, malah aku juga tidak tahu namanya. Tapi agaknya perasaan ini kuat sekali.
Selepas sholat, aku memohon ampun pada Tuhan, lalu meminta banyak hal dalam do’a panjangku pada-Nya. Dan hatiku tidak bisa kucegah, aku juga meminta pemuda itu pada-Nya, memangnya aku bisa minta pada siapa lagi jika bukan pada-Nya?. Ya Rabb.. Jika memang pemuda unik itu akan menjadi seseorang yang berarti di kehidupanku nantinya, maka mudahkanlah jalan kami, Ya Rabb.. perkenalkan aku padanya, dan dekatkanlah kami dengan cara-Mu.
Di depan masjid.
Tidak biasanya Adjie berlama-lama duduk di depan masjid. Meskipun dia memang sering berjama’ah maghrib di masjid Baiturrahman itu sejak terkena macet satu bulan yang lalu, dia biasanya langsung buru-buru pulang. Tidak terpikir sedikitpun untuk menyapa dan berbincang sebentar dengan sesama jama’ah. Tapi hari ini berbeda. Adjie bahkan sempat duduk lama dan mengobrol dengan seorang pemuda yang sepertinya seorang pegawai salah satu perusahaan sekitar Simpang Lima, terlihat jelas dari penampilannya.
Pemuda tersebut pamit, dan meninggalkan Adjie yang masih enggan beranjak dari tempat duduknya. Dan yang tidak pernah Adjie sangka, sang bidadari yang sudah tiga hari membuatnya rela berlama-lama dalam macet, dan menyengajakan diri terkena macet di jalur pantura itu duduk di sampingnya, tidak sampai satu meter, dan tanpa terhalang orang lain. Bidadarinya dengan wajah yang segar akibat air wudlu tampak semakin ayu terkena tampias sinar lampu. Dia sedang mengenakan sepatunya.
Adjie berhitung dengan waktu, satu, dua, tiga.. dia mulai gugup. Raya tampak tidak sadar ada seseorang yang kelimpungan di sampingnya, berdebar, senang, khawatir dan entah apalagi. Seseorang yang sedang ragu-ragu hendak menyapa. Tapi Adjie juga sadar, terlepas dari kesempatan ini, mungkin kesempatan lain tidak akan pernah datang lagi. Kapan lagi dia bisa duduk sedekat ini dengan sang pujaan hati? Kapan lagi dia bisa bertemu Raya? Siapa yang bisa menjamin kalau lampu lalu lintas akan tetap diperbaiki esok hari? Siapa yang bisa menjamin bahwa besok Raya masih bertugas di jalan yang sama? Di simpang Lima? Bagaimana jika tiba-tiba Raya pindah tugas ke kota lain? Dalam hati Adjie mulai panik. Lantas berkata pada dirinya sendiri, menyalahkan kesempatan yang datang tapi juga mensyukurinya bersamaan. “Kenapa harus secepat ini? Ini juga terlalu dekat, aku belum punya persiapan sekarang.. tapi jika tidak sekarang, kapan lagi?”
Raya mengenakan sebelah sepatunya yang lain. Sedang Adjie masih belum memiliki persiapan yang cukup. Dia masih menghitung waktu, masih mencoba mencari kata-kata yang cocok untuk digunakan sebagai sapaan. Sejujurnya dia tidak pernah segugup ini sebelumnya, padahal hanya untuk mengatakan ‘hai’ atau sapaan lain, padahal biasanya dia mampu bicara lugas dan tegas dengan lantang di hadapan umum. Mempresentasikan proyek yang dikerjakannya dengan sempurna. Tapi urusan cinta… ternyata lain ceritanya.
Raya hampir selesai mengenakan kedua sepatunya. Hanya tinggal beberapa menit kesempatan yang tersisa. Padahal lidah Adjie masih kelu. Tapi dia harus bertindak atau tidak ada kesempatan lain sama sekali.
“Assalamu ‘alaikum, Bu Polwan?” sapa Adjie. Akhirnya keberanian untuk menyapa dia dapatkan juga, mungkin karena biasanya dia tidak acuh dan tidak pernah peduli dan menyapa seorang gadis maka untuk memulai sebuah percakapan bahkan lebih sulit daripada mengerjakan rumus matematika manapun. Enggan dan memang tidak berani.
“Alaikumussalam..” jawab Raya. “Saya tidak asing dengan wajah anda, sepertinya anda langganan macet di daerah saya ya, Pak?” lanjut Raya membuka obrolan. Adjie tertawa malu saat tahu bahwa Raya ternyata menyadari tindakannya tiga hari terakhir ini. Di luar dugaan Raya, ternyata kesempatan itu datang. Kesempatan yang tidak disangka Raya akan bisa dia dapatkan begitu cepat, hanya berselang belasan menit yang lalu dia meminta pada-Nya. Benarkah sekarang sudah terkabul? Apa ini cara-Nya memperkenalkan mereka?
“Saya Adjie, Bu Raya,” kata Adjie memperkenalkan diri. Dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
“Wah.. kok anda sudah tahu nama saya?” Raya terkejut. Namun kemudian Adjie menunjuk papan nama yang tersemat di seragam gadis itu. Raya tertawa menyadarinya.
“Saya suka lupa saya sudah mempublikasikan nama di seragam saya.” Lanjut Raya. Masih diselingi tawa.
“Berapa lama tinggal di Semarang?”
Adjie mengerutkan kening. Seolah berfikir, “seingat saya sejak kecil, usia 10 tahun kayanya..” Raya manggut-manggut mengerti. “Sudah hafal Semarang dong ya..” gadis cantik itu berkomentar. Adjie mengangguk mantap mengiyakan. Dia memang orang Semarang asli, hanya saja ayahnya sempat dipindah tugaskan ke Blora dan dia baru kembali ke kota Atlas ini pada usia 10 tahun.
“Ngomong-ngomong, kenapa anda kayanya bolak-balik terus ya di Simpang Lima?” Raya tersenyum jail, sedangkan Adjie sudah tertawa malu dengan wajah yang mulai memerah. Tertangkap sudah.
“Saya suka lupa jalan,” jawab Adjie sekenanya.
“Ahahaha… bohong. Masa anda sudah jadi orang Semarang sejak usia 10 tahun tidak hafal jalan Simpang Lima?”
“Saya bukan tidak hafal, hanya suka lupa…” Adjie berkelit, beralasan.
Dan percakapan merekapun berlanjut dengan renyah, seolah kedua sahabat lama yang baru saja bertemu kembali setelah sekian tahun tak ada kabarnya. Percakapan itupun menjadi permulaan bagi kisah yang terukir hingga ujung usia mereka berdua.
Ada yang pernah mengatakan pada saya, bahwa do’a yang dipanjatkan untuk orang yang tidak tahu bahwa dia didoakan, akan terkabul. Saya pikir, mungkin karena do’a yang dipanjatkan keduanya adalah sama maka dua do’a itu saling tarik-menarik di langit dan kemudian terkabul dengan cepatnya. Soal bagaimana kelanjutan kisah mereka berdua, mari kita biarkan Tuhan yang menyelesaikan dengan cara-Nya.
SEKIAN
Cerpen Karangan: Aya Emsa
Blog: butirbutirembun.blogspot.com
Facebook: anindya aryu emsa
Langganan:
Postingan (Atom)